Kuliner Legendaris Khas Malang

Orem-Orem Comboran Pak Tik, Cita Rasa Legendaris dari 1967 di Jantung Kota Malang

Namanya Warung Orem-orem Comboran Pak Tik, sebuah kuliner legendaris yang sudah eksis sejak tahun 1967 di Kota Malang

Penulis: Benni Indo | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM/Benni Indo
OREM OREM - Sajian menu Orem Orem di warung Orem-Orem Comboran di Jalan Irian Jaya, Kota Malang. Warung ini telah eksis sejak 1967 

SURYAMALANG COM, MALANG –  Warung kecil sederhana di sudut Jalan Irian Jaya Nomor 1, Kota Malang selalu ramai didatangi pelanggan.

Bukan sekadar tempat makan, warung ini sudah jadi semacam ruang nostalgia bagi warga Kota Malang dan pelancong.

Namanya Warung Orem-orem Comboran Pak Tik, sebuah kuliner legendaris yang sudah eksis sejak tahun 1967.

Dinding warung tampak pajangan potongan-potongan koran.

Semuanya memberitakan hal yang sama: kisah panjang dan keistimewaan orem-orem khas Malang yang dijajakan di tempat ini. 

Setiap siang, bangku-bangku sederhana warung selalu terisi pembeli. 

OREM OREM COMBORAN - Suasa warung Orem-Orem Comboran di Jalan Irian Jaya, Kota Malang. Warung ini telah eksis sejak 1967 yang menyajikan menu khas Kota Malang, Orem-orem.
OREM OREM COMBORAN - Suasa warung Orem-Orem Comboran di Jalan Irian Jaya, Kota Malang. Warung ini telah eksis sejak 1967 yang menyajikan menu khas Kota Malang, Orem-orem. (SURYAMALANG.COM/Benni Indo)

Di balik kehangatan aroma kuah kental yang mengepul, Kusnan Basori (44) sibuk melayani pembeli.

Ia adalah penerus generasi kedua, anak dari Tikmanan—yang lebih dikenal sebagai Pak Tik, dan setelah berhaji, mengganti nama menjadi Haji Abdul Manan.

“Dulu, abah saya itu bakul keliling. Ada yang nyaranin jual orem-orem karena waktu itu belum ada yang jual.

Tahun 1967, beliau mulai jualan dengan harga cuma satu rupiah,” kenang Kusnan sambil tersenyum.

Orem-orem sendiri adalah sajian berkuah santan, sekilas mirip lodeh.

Kuah gurihnya berpadu dengan potongan ketupat dan tempe mentah yang dimasak langsung dalam kuah panas sehingga matang perlahan, meresap dengan bumbu.

“Bumbunya mirip lodeh, ada kunyit, kencur, jahe, laos. Tempenya dimasak dalam kuah panas, jadi bumbunya merasuk,” jelas Kusnan.

Seiring waktu, usaha yang dulu dimulai dari pikulan keliling, berubah menjadi rombong, lalu berpindah-pindah kontrakan.

Hingga akhirnya, sejak hampir tiga dekade lalu, menetap di lokasi sekarang—di samping Pasar Besar Malang.

Warung kecil ini buka setiap hari mulai pukul 09.00 hingga 17.00 WIB.

Dalam sehari, bisa terjual hingga seratus porsi orem-orem.

Kusnan mengaku, citarasa warisan ayahnya tidak pernah diubah. 

“Bumbunya tetap pakai ramuan almarhum abah saya. Enggak pernah kita ubah. Dari dulu cara masak ketupat juga sama, harus 12 jam biar pas. Saya belajar sendiri dengan melihat beliau masak,” tuturnya.

NIKMAT - Salah satu pengunjung warung Orem-Orem Comboran menikmati sajian utama Orem-orem, salah satu makanan khas Malang. Warung ini berada di Jalan Irian Jaya, Kota Malang.
NIKMAT - Salah satu pengunjung warung Orem-Orem Comboran menikmati sajian utama Orem-orem, salah satu makanan khas Malang. Warung ini berada di Jalan Irian Jaya, Kota Malang. (SURYAMALANG.COM/Benni Indo)

Bagi banyak orang, orem-orem Pak Tik bukan hanya makanan, tapi pengalaman.

Tak jarang pelanggan merasa tubuhnya hangat setelah menyantap kuah gurih itu.

“Banyak yang bilang kalau makan ini enak, badan jadi berkeringat, kayak ada jamunya,” tambah Kusnan.

Berkat konsistensi itulah, warung ini tetap bertahan meski sempat sepi saat pandemi Covid-19.

Kini, setelah ramai kembali, harapannya orem-orem bisa mendapat pengakuan resmi sebagai kuliner khas Malang

“Pengennya begitu, diakui sebagai warisan kuliner Malang, Jawa Timur karena memang hanya ada di Malang,” harapnya.

Warung Orem-orem Pak Tik telah melewati lebih dari setengah abad perjalanan.

Dari harga satu rupiah hingga kini, dari pikulan hingga menetap di jantung Kota Malang.

Setiap sendok kuah gurihnya seakan bercerita tentang dedikasi seorang bapak yang memulai dari nol, lalu diwariskan kepada anaknya, agar cita rasa itu tetap hidup untuk generasi berikutnya. (Benni Indo)

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved