Malang Raya
Tepis Stigma, Igama Justru Perangi HIV/AIDS
Kelompok gay yang tergabung dalam Ikatan Gaya Malang (Igama) justru berjuang membuktikan diri sebagai komunitas yang memiliki kepedulian sosial tinggi
Penulis: Benni Indo | Editor: Achmad Amru Muiz
SURYAMALANG.COM, MALANG – Kelompok LGBT seringkali mendapat stigma negatif sebagai biang kerok menyebarnya HIV/AIDS. Padahal, stigma itu tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, HIV/AIDS bisa menjangkiti siapa saja.
Berdasarkan temuan di lapangan, mereka yang mengidap HIV/AIDS memiliki beragam latar belakang. Mulai lelaki dan perempuan pekerja swasta, buruh, petani, wiraswasta, pengusaha, ASN, ibu rumah tangga, mahasiswa hingga anak-anak.
Memang tidak mudah bagi kelompok LGBT untuk melawan stigma itu. Di Kota Malang, stigma itu justru tidak dilawan. Kelompok gay yang tergabung dalam Ikatan Gaya Malang (Igama) justru berjuang membuktikan diri sebagai komunitas yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Mereka turut serta membantu pemerintah dan masyarakat lainnya untuk mengurangi penyebaran HIV/AIDS.

Ikatan Gaya Malang (Igama) memiliki cara tersendiri untuk menjangkau kelompok mereka. Ditemui di tempat kerjanya beberapa waktu lalu, Ketua Igama Andi S menceritakan, meningkatnya temuan pengidap HIV/AIDS akibat dari beberapa faktor. “Itu dari beberapa faktor kenapa penyebanya tinggi. Apakah itu sedang terjadi gunung esnya mencair atau memang adanya kesadaran mengakses layanan,” ungkapnya.
Dikatakannya, berdasarkan temuannya di lapangan, angka temuan pengidap HIV/AIDS yang banyak terekam saat ini didominasi lelaki seks lelaki (LSL). LSL menempati urutan kedua setelah ibu rumah tangga. Justru dengan jangkauan yang mereka lakuka, mereka bisa memberikan edukasi sekaligus upaya pencegahan dini terhadap menyebarnya HIV/AIDS.
Dijelaskan Andi, jumlah LSL di Kota Malang sekitar angka 500 ke atas. Sedangkan di Kabupaten Malang ada 345 LSL yang ditemukan. Temuan itu berdasarkan kerja keras Igama ketika berupaya mencegah tersebarnya HIV/AIDS.
“Satu yang kami lakukan, itu karena aktivitas dari kami memang menjangkau sampai ke lubang semut, makannya terbongkar. Kami dorong untuk mengakses layanan pemeriksaan. Sehingga ketika mereka mengakses, kasus itu ditemukan,” papar Andi.

Bukan perkara mudah bagi Igama untuk bisa menjangaku sekalipun berada di kelompok mereka sendiri. Butuh pendekatan dan interaksi yang intens agar terwujudnya keterbukaan.
Igama sendiri bergerak dengan biaya secukupnya. Namun Andi tidak menjabarkan berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk menjangkau kelompok minoritas dalam rangka pencegahan HIV/AIDS. “Kalau masalah lainnya, memang pendanaan minim. Tapi tetap kami lakukan semaksimal mungkin untuk memberikan edukasi dan berkomunikasi dengan mereka,” katanya.
Diterangkannya, Kota Malang mengalami fase yang cukup gencar untuk membuka layanan HIV/AIDS. Banyak LSL periksa di sejumlah Puskesmas di Kota Malang yang sudah memiliki layanan untuk HIV/AIDS. “Banyak di Puskesmas Dinoyo dan RSSA,” imbuhnya,
Di sisi lain, tindak diskriminasi terhadap kelompok LGBT dalam mengakses layanan kesehatan di Kota Malang dinilai Andi sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Sejauh pengalaman yang dilalui Andi, dahulu, sebelum melakukan pemeriksaan kelompok LGBT ini kerap diceramahi oleh petugas medis.
Namun kondisi itu sudah jarang sekali ditemukan hampir di banyak tempat layanan kesehatan di Kota Malang. Andi berharap, layanan yang lebih baik kepada kelompok LGBT bisa terus dijaga karena bagaimana pun juga, LGBT juga warga negara yang harus mendapatkan layanan yang sama dengan masyarakat lainnya.
Kerja keras Igama dalam upaya pencegahan HIV/AIDS ini menunjukkan bahwa mereka memiliki andil. Stigma negatif yang selama ini dipredikatkan kepada mereka seolah luntur dengan sendirinya karena ternyata mereka memerangi HIV/AIDS.
HIV/AIDS adalah musuh bersama. Tidak hanya satu atau dua kelompok saja. Farid Hafifi, anggota Yayasan Mahameru yang bergerak di bidang HIV/AIDS mengatakan, masyarakat seharusnya tidak mengambing hitamkan kelompok tertentu sebagai sumber penyebaran HIV/AIDS. Pasalnya, virus HIV/AIDS bisa tertular ke siapa saja dan oleh siapa saja.
Kata Farid, justru kelompok LGBT sangat mudah untuk dirangkul dalam upaya penanggulanan HIV/AIDS. Mereka mengetahui informasi bahayanya HIV/AIDS. “Kalau menurutku, kalau edukasi di kelompok marjinal seperti LSL dan transpuan, sebenarnya mereka lebih mudah dibandingkan masyarakat dalam konteks pemahaman,” paparnya.
