Sidoarjo
Pabrik Kena Lumpur Lapindo, Mantan Direktur Kini Jadi Sopir
Sejak usahanya terkubur, Andi memilih menjadi sopir pribadi bagi temannya.
Saat masih berjaya, perusahaan Andi ini bisa meraup omset hingga 12.000 dolar AS per hari.
Bila dikurskan dengan nilai tukar rupiah di tahun itu yang sekitar Rp 2.200 per-dolar AS, maka angkanya setara dengan Rp 26,4 juta per hari.
Tapi, lumpur Lapindo datang dan mengubur semuanya. Tak sampai setahun sejak lumpur muncrat dari pengeboran Lapindo Brantas Inc, perusahaan Andi tenggelam.
Pabrik yang dirintis selama 12 tahun itu pun hilang. ”Saya sempat merintis lagi dengan pindah tempat,” imbuhnya.
Pada 2008, dengan menggunakan modal yang tersisa dan dengan memanfaatkan aset-aset pribadi, Yamaindo kembali beroperasi di kawasan Kecamatan Buduran.
Tetapi, modal yang dimiliki untuk kembali bangkit, tidak banyak. Ganti rugi yang diharapkan, nilainya sangat jauh harapan. Itupun belum semua diterima.
Untuk membangkitkan perusahaannya, Andi sampai merelakan dua rumah, tiga mobil, serta dua unit usaha berupa toko dijual.
“Selain buat modal, semua itu juga terpaksa saya jual untuk menghidupi keluarga,” ucapnya.
Selama tiga tahun berjalan, rintisan usaha itu tidak berkembang. Pada 2011 Yamaindo kembali kolaps.
Berawal dari ketidakmampuan berproduksi sesuai kapasitas, perusahaan itu akhirnya bangkrut.
Begitu pabrik barunya bangkrut, Andi mulai bingung. Kepada Dwi Cahyani alias Yeyen, bos PT Victory Rottanindo yang juga salah satu korban luapan lumpur Lapindo, Andi memohon diberikan pekerjaan.
“Pekerjaan apa saja saya mau, yang penting halal,” sebut bapak tiga anak ini.
Keluhan dan permohonan Andi ini membuat Yeyen nelangsa. Kepada sesama pengusaha lain yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Korban Lumpur Sidoarjo (GPKLS), Yeyen memintakan pekerjaan untuk Andi.
“Kebetulan pak Tri Budiono sedang butuh driver. Langsung saja dia bersedia membantu saya,” tutur Andi.
Tetapi, mental pengusaha masih kental mengalir di darah pria asal Banten ini.