Malang Raya
Sumber Nagan : Mengemas Amanah Budaya sebagai ‘Penjaga’ Sumber Air
Kesadaran untuk merasa memiliki dan turut merawat sumber air di Dusun Biru juga memupuk kuat toleransi warga Singosari yang heterogen.
Penulis: Dyan Rekohadi | Editor: Aji Bramastra
“Kalau orang ke situ mau mandi, saya minta mandi saja, jangan pakai sabun. Yang pertama kalau pakai sabun berarti itu bukan mandi ritual, yang pasti tempat itu (Sumber Nagan) jadi kotor,’ ujar Djathi memberi contoh arahan pada para pengunjung.
Pria yang memilih membangun padepokan dan tinggal di area Sumber Nagan sejak tahun 1987 itu juga berusaha mengarahkan masyarakat yang lebih percaya pada dunia gaib untuk lebih memiliki pemahaman rasional. Ia tak lelah memberi pemahaman sehingga pengunjung bisa menempatkan sumber mata air itu sebagai anugerah Tuhan yang besar manfaatnya sehingga perlu dirawat.
“Waktu mandi tidak usah minta macam-macam. Kalau lagi mandi di pancuran ucapkan saja dalam batin terimakasih pada Sang Maha Pemurah,jangan macam-macam, jangan minta usahanya laris dan lainnya,” pesannya.
Dengan cara demikian, pengunjung jadi bisa benar-benar merasakan kesegaran air Sumber Nagan. Dampak positifnya mereka tentunya akan menyayangkan bila kesegaran air itu tidak ada lagi kalau tidak terawat.
Ada beberapa versi yang mengisahkan asal muasal nama Sumber Nagan. Djathi menyebut nama Nagan itu sebenarnya berasal dari kata Nagan yang berarti menjemur padi.
“Dari kisah beberapa orangtua yang saya tahu, dulu katanya di atas sumber itu ada ibu-ibu yang biasa menjemur padi atau nagan,” papar Djathi.
Tokoh yang memiliki kelebihan dari sisi kebatinan itu meyakini Sumber Nagan dan area sekitarnya tak lepas dari posisi peradaban era kerajaan Singosari. Keyakinan itu juga dimiliki warga Dusun Biru dan para pengunjung Sumber Nagan.
Kepala Dusun Biru, Ismail menyebut para orangtua dan pendahulunya selalu menyebut area-area sumber air di dusun mereka merupakan bagian dari situs peninggalan kerajaan Singosari.
“Kalau saya belum melihat sendiri, tapi kata para orangtua di Sumber Nagan itu dulu ada patung Syiwa, patung dengan banyak tangan,” ungkap Ismail.

Kepala Dusun Biru, Ismail.
Warga dusun secara rutin masih menjalankan ritual ucapan syukur setiap tahun dengan menggelar acara tumpengan di sumber-sumber air.
“Biasanya di bulan Agustus, sekalian peringatan 17 an, warga patungan berkelompok lalu membuat tumpeng yang dibawa ke sumber air. Itu masih rutin berjalan karena kami menjaga budaya saja,” terang Ismail.
Keyakinan warga tekait hubungan sumber air dan warisan Kerajaan Singosari dan budaya turunan itu turut membantu kelestarian sumber air di kawasan Dusun Biru.
Warga atau pengunjung jadi segan melakukan hal negatif yang bisa mengganggu keberadaan sumber air.
Kesadaran untuk merasa memiliki dan turut merawat sumber air di Dusun Biru juga memupuk kuat toleransi warga Singosari yang heterogen. Warga dusun dan pengunjung Sumber Nagan dari manapun saling menghargai. Warga pengguna air bersih dari sumber dan petani juga tidak pernah sampai ribut soal air pengairan.
“Yang terpenting bagi saya bagaimana bisa menyampaikan, bisa mengayomi masyarakat biar semua faham, yang warga asli, yang santri (di sekitar lokasi banyak pondok pesantren) dan pengunjung sama-sama ikut menjaga,” ungkap pria asli kelahiran Dusun Biru itu.