Malang Raya
Sumber Nagan : Mengemas Amanah Budaya sebagai ‘Penjaga’ Sumber Air
Kesadaran untuk merasa memiliki dan turut merawat sumber air di Dusun Biru juga memupuk kuat toleransi warga Singosari yang heterogen.
Penulis: Dyan Rekohadi | Editor: Aji Bramastra
SURYAMALANG.COM, MALANG - Di saat Bupati Malang menetapkan kondisi darurat kekeringan dan 16 desa di Kabupaten Malang dinyatakan kekeringan, Dusun Biru, Desa Gunungrejo Kecamatan Singosari, Kabupaten malang menjadi salah satu kawasan di Kabupaten Malang yang masih memiliki sumber air berlimpah di musim kemarau ini. Dusun ini tak pernah kekurangan air di sepanjang tahun.
Keberadaan sumber air di dusun ini tetap terjaga sepanjang waktu, salah satunya berkat budaya lokal yang ‘melindungi’ beberapa situs mata air.
Di Dusun Biru setidaknya ada dua sumber air yang terkenal, yakni Sumber Biru atau juga dikenal dengan nama Batarubuh dan satu lagi yang kini sangat terkenal adalah mata air Sumber Nagan. Sumber air berupa tiga gerojokan air itu bukan hanya dikenal warga sekitar desa atau Kecamatan Singosari saja, keberadaan sumber air ini bahkan sudah dikenal hingga ke luar negeri.
Konon beberapa pemimpin daerah dan pemimpin Negeri ini juga pernah mendatangi sumber ini secara khusus.
Kondisi Sumber Nagan hingga saat ini masih sangat alami. Belum ada bangunan buatan yang dibangun untuk mempercantik area mata air. Tiga pancuran air dari pipa besi yang ditanam ke batu tebing terlihat masih memancar deras mengisi kolam kecil alami di bawahnya. Air yang memancar sangat bening.
Di sekitar pancuran itu ada beberapa pipa besi yang melintang. Pipa-pipa itu merupakan pipa untuk menyalurkan air ke rumah-rumah warga. Bekas-bekas sesaji untuk ritual seperti dupa, bunga dan lilin masih ditemui di beberapa bebatuan yang letaknya sedikit di atas kolam pancuran Sumber Nagan.
Untuk mencapai lokasi Sumber Nagan, pengunjung bisa menggunakan kendaraan pribadi melalui jalan desa yang sudah mulus. Lokasinya sekitar 10 km dari jalan raya surabaya-Malang. Titik lokasinya berjarak sekitar 100 meteran dari jalan desa, tepatnya di bawah area kebun. Pengunjung harus melalui jalan setapak yang terjal untuk tiba di pancuran sumber air.
Sudah menjadi rahasia umum jika mata air ini sering dikunjungi oleh orang-orang yang melakukan ritual kepercayaan.
Puluhan, bahkan ratusan pengunjung bisa memadati mata air yang berada di lereng curam itu di hari tertentu. Mereka biasanya melakukan ritual khusus, mandi hingga membawa pulang air dari mata air itu. Banyak yang percaya air dari Sumber Nagan bisa mendatangkan kesembuhan.
Tapi banyak juga warga yang datang hanya sekedar untuk menikmati suasana dan kesegaran air semata. Para petani dan pencari rumput juga menjadikan tempat itu sebagai tempat istirahat minum dan mandi setelah seharian bekerja di sawah dan ladang.
Terlepas dari ritual apapun dan tuah yang menempel dengan Sumber Nagan. Kemampuan warga sekitar untuk bisa mengemas dan menjaga budaya, ritual kepercayaan, dan toleransi terbukti mampu mempertahankan kelestarian mata air ini.
Djathi Kusumo, Pengasuh Padepokan Wangon yang berdiri di area mata air Sumber Nagan menyebut aliran air di Sumber Nagan tak pernah melemah. Besarnya debit air di sumber ini di musim kemarau memang cukup mengherankan karena tidak ada hutan lebat di sekitar kawasan itu. Yang ada justru hamparan kawasan sawah yang luas.
Besarnya debit air di sumber ini di musim kemarau memang cukup mengherankan karena tidak ada hutan lebat di sekitar kawasan itu. Yang ada justru hamparan kawasan sawah yang luas.
“Kalau misalnya ditampung, dalam sehari diambil 500 truk tangki saja gak akan habis, kandungan mineralnya tak kalah” kata Djathi.
Sebagai sosok yang sehari-hari berada Sumber Nagan dirinya selalu berusaha mengarahkan pengunjung untuk turut menjaga lingkungan sekitar. Ia juga meminta upaya menanam pohon yang dilakukan di sekitar lokasi untuk sama-sama dijaga.

Ki Djathi Kusumo (kanan) bercengkeramah dengan seorang pengunjung Sumber Nagan di depan Padepokan Wangon yang letaknya di atas sumber air.
“Kalau orang ke situ mau mandi, saya minta mandi saja, jangan pakai sabun. Yang pertama kalau pakai sabun berarti itu bukan mandi ritual, yang pasti tempat itu (Sumber Nagan) jadi kotor,’ ujar Djathi memberi contoh arahan pada para pengunjung.
Pria yang memilih membangun padepokan dan tinggal di area Sumber Nagan sejak tahun 1987 itu juga berusaha mengarahkan masyarakat yang lebih percaya pada dunia gaib untuk lebih memiliki pemahaman rasional. Ia tak lelah memberi pemahaman sehingga pengunjung bisa menempatkan sumber mata air itu sebagai anugerah Tuhan yang besar manfaatnya sehingga perlu dirawat.
“Waktu mandi tidak usah minta macam-macam. Kalau lagi mandi di pancuran ucapkan saja dalam batin terimakasih pada Sang Maha Pemurah,jangan macam-macam, jangan minta usahanya laris dan lainnya,” pesannya.
Dengan cara demikian, pengunjung jadi bisa benar-benar merasakan kesegaran air Sumber Nagan. Dampak positifnya mereka tentunya akan menyayangkan bila kesegaran air itu tidak ada lagi kalau tidak terawat.
Ada beberapa versi yang mengisahkan asal muasal nama Sumber Nagan. Djathi menyebut nama Nagan itu sebenarnya berasal dari kata Nagan yang berarti menjemur padi.
“Dari kisah beberapa orangtua yang saya tahu, dulu katanya di atas sumber itu ada ibu-ibu yang biasa menjemur padi atau nagan,” papar Djathi.
Tokoh yang memiliki kelebihan dari sisi kebatinan itu meyakini Sumber Nagan dan area sekitarnya tak lepas dari posisi peradaban era kerajaan Singosari. Keyakinan itu juga dimiliki warga Dusun Biru dan para pengunjung Sumber Nagan.
Kepala Dusun Biru, Ismail menyebut para orangtua dan pendahulunya selalu menyebut area-area sumber air di dusun mereka merupakan bagian dari situs peninggalan kerajaan Singosari.
“Kalau saya belum melihat sendiri, tapi kata para orangtua di Sumber Nagan itu dulu ada patung Syiwa, patung dengan banyak tangan,” ungkap Ismail.

Kepala Dusun Biru, Ismail.
Warga dusun secara rutin masih menjalankan ritual ucapan syukur setiap tahun dengan menggelar acara tumpengan di sumber-sumber air.
“Biasanya di bulan Agustus, sekalian peringatan 17 an, warga patungan berkelompok lalu membuat tumpeng yang dibawa ke sumber air. Itu masih rutin berjalan karena kami menjaga budaya saja,” terang Ismail.
Keyakinan warga tekait hubungan sumber air dan warisan Kerajaan Singosari dan budaya turunan itu turut membantu kelestarian sumber air di kawasan Dusun Biru.
Warga atau pengunjung jadi segan melakukan hal negatif yang bisa mengganggu keberadaan sumber air.
Kesadaran untuk merasa memiliki dan turut merawat sumber air di Dusun Biru juga memupuk kuat toleransi warga Singosari yang heterogen. Warga dusun dan pengunjung Sumber Nagan dari manapun saling menghargai. Warga pengguna air bersih dari sumber dan petani juga tidak pernah sampai ribut soal air pengairan.
“Yang terpenting bagi saya bagaimana bisa menyampaikan, bisa mengayomi masyarakat biar semua faham, yang warga asli, yang santri (di sekitar lokasi banyak pondok pesantren) dan pengunjung sama-sama ikut menjaga,” ungkap pria asli kelahiran Dusun Biru itu.
Selain kisah warisan kerajaan Singosari, Ismail yang kini menjadi orang nomor satu di Dusun Biru masih memegang teguh amanat sesepuhnya yang tidak mengizinkan air dari sumber itu diambil untuk diperjualbelikan.
“Banyak yang tahu di Sumber Awan atau di (Sumber air) Kendedes airnya sudah banyak dialirkan ke perusahaan-perusahaan, termasuk PDAM melalui pipa-pipa besar yang dampaknya sekarang air di sana mulai habis. Syukurlah di sini kami masih komitmen menjaga kesepakatan itu, warga sepakat untuk tidak mengizinkan pengambilan air bagi perusahaan,” terang Ismail.
Berpegang kisah dari para sesepuh, warga Dusun Biru tidak melulu menggunakan air Sumber Nagan untuk kebutuhan air bersih dan air minum warga saja. Tapi tetap ada air dari sumber yang dibiarkan tercurah dan bebas mengalir di saluran air yang berfungsi untuk pengairan sawah.
Hingga saat ini setidaknya sudah lebih dari 800 KK yang bisa menikmati aliran air bersih dari Sumber Nagan. Warga bisa mendapat aliran air sumber langsung ke rumah melalui pemasangan instalasi pipa yang dipasang secara swadaya masing-masing kelompok dan RT setempat sejak tahun 1989an.
Semua bersyukur, sumber air bersih yang sehat bisa terus mereka rasakan sepanjang hari-sepanjang tahun bahkan di saat daerah lain dilanda kekeringan. (*)