Blitar
Desa Jimbe, Ladang Sinden di Jawa Timur yang Terancam Punah, Tapi Kini Lahir Bibit-Bibit Baru
"Dulu itu, kalau ada orang mencari sinden, ya ke desa kami ini. Itu karena para wanitanya dulu itu rata-rata pesinden"
Penulis: Imam Taufiq | Editor: eko darmoko
SURYAMALANG.COM, BLITAR - Di era perkembangan musik yang serba modern seperti sekarang ini, profesi sinden atau waranggana sudah langka. Itu karena profesi sinden dianggap punya masa depan tak menjanjikan alias suram. Sehingga pelan-pelan ditinggalkan oleh para wanita yang punya keahlihan tarik suara dengan diiringi seperangkat gamelan tersebut.
Namun, tidak demikian di Kabupaten Blitar. Justru di tempat masa kecil Soekarno, Presiden pertama Indonesia itu, profesi sinden tetap dilestarikan dan dibudayakan. Seperti Selasa (6/9/2016) siang, ada lomba menyinden, yang berlangsung di Desa Jimbe, Kecamatan Kademangan. Pesertanya luar biasa karena tak hanya ibu-ibu, namun para pelajar seperti SMA, dan SMP, bahkan anak SD pun, tak ketinggalan.
Jumlah pesertanya mencapai 98 orang karena diikuti para pesinden se-Kabupaten Blitar. Yakni, itu terdiri dari anak SD sebanyak 13 peserta, pelajar SMP dan SMK sebanyak 31 peserta dan 54 peserta terdiri dari ibu-ibu.
Meski itu hanya berlangsung di jalan desa atau Desa Jimbe, namun cukup meriah karena penontonnya juga cukup banyak. Tak hanya masyarakat umum, namun para guru, camat, danramil dan kapolsek se-Kabupaten Blitar, juga hadir. Termasuk, M Trianto, Bupati Blitar juga hadir karena lomba itu selain dalam rangka memperingati hari 17 Agustus, juga sekaligus memperebutkan piala orang nomer satu di Kabupaten Blitar tersebut.
"Lomba sinden ini baru pertama kali ini diadakan di Kabupaten Blitar. Namun, rupanya mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Buktinya, pesertanya cukup banyak dan dihadiri banyak warga yang ingin menyaksikannya. Sepertinya, warga rindu akan tontonan seperti ini," tutur Fahrudin (46), ketua paguyupan Sinden Jimbe.
Meski pesertanya bukan sinden sungguhan, namun penampilannya cukup memukai penonton. Tak hanya pakaiannya yang ala sinden, namun suaranya rata-rata cukup merdu. Bahkan, cengkoknya pun, cukup pas dan meliuk-liuk bak sinden terkenal seperti Sunyani, dan Waldjinah.
Seperti penampilan Anggi Setyo Ningsih (12), pelajar SDN Kanigoro 4. Meski baru kelas 6 SD, namun ia tak tampak grogi, malah selama berada di atas panggung, penonton tak henti-hentinya memberikan aplaus. Sebab, saat membawakan gendhing Mamanik, cengkoknya cukup mendayu-dayu. Apalagi, gerakan tubuhnya, yang lemah gemulai, mengikuti irama hendhing, membuat mata penonton tak berkedip.
"Anak sekecil itu kok bisa tampil seperti sinden sungguhan. Sampai-sampai saya terenyuh mendengarkan suaranya, yang merdu," tutur AKP Sapto Rahmadi, Kapolsek Kademangan.
Saat turun dari panggung perlombaan, ia mengaku ingin jadi pesinden terkenal, seperti Soimah Pancawati, artis serba bisa, yang juga mantan sinden.
"Suara Soimah cukup bagus, bahkan cengkoknya cukup panjang dan meliuk-liuk, sehingga suaranya sulit tertandingi dengan penyanyi lainnya. Saya kepingin menirunya. Ia artis serba bisa, yang berangkat dari profesi sinden," tutur Anggi.
Tak kalah menariknya, adalah penampilan Niken Ayu Wulandari (13), pelajar kelas 1 SMPN 1 Selorejo, dan Mega Wigati (17), pelajar kelas 3 SMAN 1 Kademangan. Keduanya tampil apik dan mampu menghipnotis penonton. Sebab, suara dan cengkoknya pas, ketika membawakan gendhing Mamanik, yang merupakan lagu wajib dalam perlombaan itu.
"Suara mereka cukup khas dan sangat berbakat. Itu tinggal diarahkan saja karena perpaduannya cukup rancak, antara suara dengan gemulai gerakan tubuhnya," ujar M Tohir, Kepala UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan Kademangan, yang mengaku paham betul soal gendhing-gendhing jawa.
Mega mengaku menekuni kesenian olah vokal gendhing Jawa ini sejak TK. Bahkan, ia mengaku hafal dengan baik puluhan gendhing Jawa, seperti Caping Gunung, Batik Gelinding, Nyidam Sari, Langgam Wuyung, Tembang Kangen, dll. Alasannya, ia ingin memuaskan audiensi jika lagi di atas panggung.
"Kami tertarik jadi sinden itu karena terinspirasi dari orang asing. Mereka itu justru kuliah di sini hanya karena kepingin jadi sinden, sementara kita justru malah meninggalkannya. Karena itu, kami berjanji akan menghidupkan kembali budaya kita seperti sinden, yang justru kurang diminati oleh bangsa kami sendiri," tuturnya lugu.
Tak pelak, karena banyak peserta yang berbakat, M Rijanto, Bupati Blitar, mengaku tak menyangka, kalau di Kabupaten Blitar itu masih banyak bibit-bibit pesinden handal meski terkesan punah.
"Justru, saya heran, anak-anak atau pelajar itu yang malah lebih berbakat. Bahkan, penampilannya tak kalah dengan ibu-ibu atau sinden sungguhan," tutur Rijanto, memujinya.
Ke depan, Rijanto berjanji, mereka perlu diberi wadah tersendiri, agar bisa menyalurkan bakatnya dan kian menambah ketertarikannya pada seni olah vokal suara tersebut. Minimal, harus sering ada pertunjukkan sinden, supaya mereka berkreasi.
"Kami akan memberikan wadah tersendiri, agar tak cukup hanya di paguyuban saja," paparnya.
Mengapa lomba sinden ini dilakukan di Desa Jimbe, bukan di kota? Menurutnya, itu selain menguri-nguri budaya, juga sekaligus untuk mengenang masa lalu, bahwa di Desa Jimbe dulu itu pernah berjaya. Yakni, tepatnya pada tahun 70-an, ada sekitar 100 sinden, yang asli Desa Jimbe dan tinggal di sini. Bakat itu didapat dari turun temurun orangtuanya.
"Dulu itu, kalau ada orang mencari sinden, ya ke desa kami ini. Itu karena para wanitanya dulu itu rata-rata pesinden. Namun sekarang ini sudah punah, tak ada lagi sinden di sini. Kalau toh ada mereka sudah tua-tua sehingga sudah lama tak main dan daya tariknya sudah tak ada." paparnya