Kisah Soesilo Toer: Mas Pram itu PNI, Bukan PKI (3)
DOKTOR SOESILO TOER: Saya memahami apa itu Marxisme-Leninisme, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya.
Meski demikian, Pram tidak meminta maaf. Namun, dia mempunyai cara lain untuk menghibur adik kesayangannya itu.
"Mengetahui saya tak bersalah, Pram kemudian memeluk saya berkali-kali. Dia mengajak saya jajan, nonton bioskop dan mengelus-ngelus kepala saya di atas becak," kata Soes.
Soes sendiri mewarisi bakat dan semangat kakaknya dalam menulis.
Hingga saat ini, Soes sudah menerbitkan sekitar 20 buku hasil karyanya, contohnya yang berjudul Kompromi dan Komponis Kecil.
Kegemaran menulis diawali keluarga ini dengan kegilaan membaca buku.
Saat sekolah dan tinggal di Rusia adalah surga baginya. "Saya penggila buku-buku sastra Rusia. Bahkan suatu ketika dosen belum pernah baca, saya sudah khatam," tuturnya.
Bersama dituding komunis Namun, terkait dengan nama Pram pula maka kakak beradik Toer juga harus merasakan dinginnya jeruji besi bertahun-tahun karena dituding antek komunis.
Untuk kasus Soes, dua alasan sekaligus. Jurusan yang ditekuni Soes di fakultas politik dan ekonomi di Rusia disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara.
Selain itu, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding berhaluan komunis. Sebelumnya, karya-karya Pramoedya merupakan tamparan bagi Belanda.
Naskahnya yang nasionalis dianggap memelopori masyarakat Indonesia menjegal Belanda. Karena dinilai membangkang Belanda, Pramoedya sudah lebih dulu ditangkap.
Sementara itu, pada masa Orde Baru, sentilan-sentilan Pramoedya dalam tulisannya dianggap condong berpihak kepada PKI. Banyak tokoh yang merasa tersudutkan dengan peran Pramoedya pada saat itu.
Pramoedya mendekam penjara 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru.
"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain. Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu Marxisme-Leninisme, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes. Padahal, lanjut Soes, dia dan Pram bukanlah komunis, apalagi ateis. Baginya, persoalan keyakinan itu tergantung penafsiran orang.
"Agama adalah hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Sifatnya intim. Pram itu Islam tulen. Aku juga Islam," ungkapnya.

Menunggu janji