Malang Raya

Genoveva Harus Berhenti Mencari Putranya yang Hilang Sejak Senjakala Orde Baru

BIMO PETRUS. Arek Malang ini hilang 20 tahun silam karena menentang rezim Orde Baru yang semprul. Kini, ibunya mangkat dalam usia 76 tahun.

Penulis: Sri Wahyunik | Editor: yuli
sri wahyunik
Suciwati dan Utomo Rahardjo (ayah Bimo Petrus) melihat jenazah Misiati (ibu Bimo Petrus) di Yayasan Gotong Royong. 

SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Mencari keadilan dan berjuang hingga nafasnya berhenti. Itulah yang terjadi pada Genoveva Misiati (76), warga Jl Tumenggung Suryo II / 20, Kota Malang.

Perempuan ini berjuang selama 20 tahun untuk mencari sang anak, Petrus Bima Anugerah atau dikenal dengan nama Bimo Petrus.

Selama 20 tahun berjuang, Misiati bertanya di mana keberadaan sang anak. Misiati juga menuntut pemerintah mengusut tuntas hilangnya sang anak sejak 13 Maret 1998, pada masa senjakala Orde Baru.

Perjuangan Misiati belum membuahkan hasil hingga Tuhan memanggil ibu empat anak itu, Senin (6/8/2018).

Misiati, ibu rumah tangga yang ulet mengetuk pintu Istana Negara dengan melakukan aksi Kamisan.

Misiati yang bersama almarhum Munir Said Thalib menginisiasi jejaring keluarga orang hilang yang diduga diculik di masa berakhir Orde Baru.

Misiati melakukan itu karena anak ketiganya, aktivis mahasiswa penentang rezim otoriter Orde Baru itu,  tak terlacak keberadaannya.

Pada masanya, banyak aktivis mahasiswa dan pergerakan yang diculik orang-orang dari korps militer, kemudian sebagian dilepaskan kembali tapi masih banyak juga yang hilang hingga kini. 

Misiati meninggal dunia di RS Panti Nirmala pukul 05.30 Wib, Senin (6/8/2018). Kondisi Misiati menurun sejak April 2018 lalu. Semenjak itu, Misiati enam kali dirawat di rumah sakit.

Terakhir pada Selasa (31/8/2018) lalu, Misiati kembali dilarikan ke RS hingga meninggal dunia, Senin (6/8/2018).

Menurut suami Misiati, Utomo Rahardjo, istrinya mengeluhkan sakit di perut kirinya sejak April lalu.

"Keluhan di perut kirinya. Ya mungkin kepikiran juga, maklum orang tua. Cucunya nakal saja kepikiran. Yah kepikiran anak cucu," ujar Utomo yang ditemui awak media di Persemayaman Gotong Royong Kota Malang.

Utomo dan keluarga mengikhlaskan kepergian Misiati. Utomo bahkan mengetahui sang istri meninggal dunia sebelum dokter secara resmi mengumumkan kematian Misiati.

"Tadi pagi minta minum, terus saya kasih satu tetes. Dia memejamkan mata. Saat itu saya tahu kalau dia sudah pergi. Saya hanya bilang 'selamat jalan, ma'," kata Utomo tegar.

Utomo dan Misiati tak lelah mencari keadilan untuk orang hilang di Indonesia, termasuk sang anak. Salah satunya melalui acara Kamisan di depan Istana Negara.

Utomo masih mengikuti aksi Kamisan pada Desember 2017 lalu. Sedangkan sang istri sudah absen tiga tahun terakhir, karena kondisi tubuh dan usinya yang semakin tua.

"Kalau ibu tiga tahun terakhir sudah tidak ikut Kamisan karena kondisi fisiknya. Sebelumnya ya kerap ikut. Bahkan gerakan awal Kamisan itu kami juga selalu hadir," tegas Utomo.

Meskipun tidak lagi ikut aksi Kamisan, Misiati terus mengirimkan doa untuk Bimo. Dalam setiap doanya, Misiati menyebut nama Bimo.

"Kalau di hari terakhirnya tidak. Namun dia selalu menyebut Bimo di setiap doanya," lanjutnya.

Kepergian sang istri, kata Utomo, tidak menyurutkan perjuangan Utomo mencari keadilan. Dia bersama keluarga orang hilang dan lembaga hak asasi akan terus menagih pemerintah untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang diduga kuat terjadi kepada Bimo dan teman-temannya.

"Kami tidak akan lelah meskipun pesimis. Namun kami menanti janji pemerintah menuntaskan kasus penculikan Bimo dan kawan-kawannya," tegas Utomo.

Sejumlah kolega, teman, dan saudara Utomo dan Misiati terus mengalir ke Persemayaman Gotong Royong. Suciwati, isti almarhum Munir Said Thalib juga hadir ke Gotong Royong.

Suciwati menuturkan Misiati merupakan pejuang yang kokoh berjuang untuk mencari keberadaan sang anak.

"Bu Misiati luar biasa, bersama Pak Utomo dan keluarga orang hilang datang ke Jakarta untuk mengadvokasi dan berjuang mencari anaknya yang hilang," tegas Suci.

Menurutnya, waktu 20 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Namun orang tua Bimo terus konsisten memperjuangkan keadilan untuk sang anak.

"20 tahun untuk bukan waktu yang sebentar. Mereka yang tetap konsisten di antara keluarga korban hilang yang sudah meninggal, atau lelah karena usia tua," tegas Suci.

Suciwati meminta Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla mengusut tuntas dan menyelesaikan kejahatan HAM, termasuk yang terjadi di 1998. Pemerintah harus membuka kasus itu sebagai langkah awal penuntasannya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved