Ruki Nyalakan Suluh Semangat Belajar Anak yang Terpinggirkan di Kota
Ada juga beberapa orang yang menyumbang secara tidak regular,” kata Iko yang merupakan dosen bahasa Indonesia di UPH Karawaci.
Penulis: Benni Indo | Editor: yuli
Sebelum pulang, si bapak meminta kesediaan Susan dan Iko agar anaknya bisa belajar lagi. Susan dan Iko pun menyambut permintaan itu. Mereka bersedia kalau Galuh dan Putri belajar di kostnya.
“Kalau lampu kost menyala, berarti kami di kost,” kata Susan memberi tahu.
Keeseokan harinya, datanglah Galuh dan Putri selepas maghrib ke kostnya Susan dan Iko. Mereka belajar seperti biasa hingga seesai.
Tak pernah disangka Susan dan Iko, setelah kedatangan mereka di hari pertama, keeseokan harinya banyak anak-anak mulai datang ke kostnya Susan. Galuh dan Putri mengajak teman-temannya yang
Mereka datang untuk belajar bersama Susan dan Iko. Dimulai dari dua orang pelajar SD, kemudian semakin hari semakin banyak menjadi puluhan anak. Anak-anak ini merasa nyaman belajar dengan Susan dan Iko.
Iko, saat ditemui bercerita ada lima anak yang datang pada hari kedua di kostnya. Seperti halnya bola salju, dari beberapa anak ini jumlahnya semakin banyak.
Pesertanya adalah anak-anak dari tingkat TK, SD dan SMP. Dengan banyaknya anak-anak yang belajar itu, kemudian Susan dan Iko menyiapkan sebuah tempat dan nama komunitas belajar. Maka lahirlah Rumah Kita atau Ruki pada 11 September 2018.
Di tengah kota yang begitu modern, dekat dengan lembaga pendidikan modern juga, terdapat perkampungan kecil di pinggir telaga. Di situlah anak-anak yang belajar di Ruki tinggal. Rumah-rumah mereka berada di jalanan sempit.
Kebanyakan penduduknya adalah pendatang yang mengadu nasib. Mereka sebagian besar bekerja sebagai penjual sayuran, tukang permak pakaian keliling dan buka warung makan.
Hadirnya Ruki ini menjadi angin segar bagi para orangtua. Orangtua mulai memberi kepercayaan kepada Susan dan Iko agar anak-anaknya mendapat pendidikan, sekalipun pendidikan non formal. Kepercayaan itu juga dijawab dengan lahirnya komunitas pendidikan bernama Ruki.
Ada hal yang tidak wajar menurut Iko. Ia menemukan ada anak yang kesulitan membaca dan berhitung meskipun sudah berada di kelas 5 SD. Tidak lama setelah Ruki lahir, Susan dan Iko memutuskan untuk mengontrakan rumah petakan seharga Rp 500 ribu per bulannya untuk belajar. Rumah petakan yang berukuran 3x6 meter dan dibayar dengan uang pribadi.
Di tempat yang tidak begitu luas itu, Susan dan Iko mengajarkan membaca, menulis, berhitung dan sesekali bahasa Inggris mulai Senin hingga Kamis. Seiring berjalannya waktu, ada puluhan anak yang datang. Petakan rumah pun semakin sesak untuk belajar.
Kini sudah ada 20 anak yang aktif belajar di Ruki. Susan dan Iko kemudian memutuskan untuk menyewa satu tempat lagi. Dengan menyewa dua tempat, mereka harus merogoh Rupiah sebanyak Rp 1.1 juta.
“Nah kami kan tidak punya uang sebanyak itu. Kemudian ada satu teman kantornya Susan yang mau beri bantuan setiap bulan. Di kantor saya ada dua orang. Ada juga beberapa orang yang menyumbang secara tidak regular,” kata Iko yang merupakan dosen bahasa Indonesia di Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci.
Beban biaya kontrakanpun lebih ringan. Susan dan Iko tidak perlu lagi mengeluarkan uang terlalu banyak untuk membayar tarif sewa. Kini, keduanya fokus untuk mengajar. Iko menceritakan, di Ruki, anak-anak belajar selama sejam setiap malam mulai pukul 20.00 wib.