Fakta-fakta Penyakit Difteri yang Kini Mewabah di MIN 1 Kota Malang, Sederet Buah Ini Bisa Jadi Obat
Fakta-fakta penyakit difteri yang kini mewabah di MIN 1 Malang, sederet buah ini ternyata bisa jadi obat.
Penulis: Sarah Elnyora | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM - Fakta-fakta penyakit difteri yang kini mewabah di sekolah MIN 1 Kota Malang penting diketahui.
Terutama bagi penderita difteri atau orang tua yang anaknya terjangkit virus menular dan berbahaya ini.
Selain fakta-fakta tentang penyakit difteri, SURYAMALANG.COM juga akan mengulas beberapa buah yang bisa jadi obat.
Sekolah MIN 1 Kota Malang memutuskan untuk meliburkan para siswanya selama 5 hari.
Keputusan untuk meliburkan kegiatan belajar mengajar di MIN 1 Kota Malang ini setelah ratusan murid dan puluhan guru positif menderita penyakit carrier difteri.

Libur sekolah khusus di MIN 1 Kota Malang selama 5 hari ini dimulai sejak hari ini tangal 23 - 27 Oktober 2019.
Lantas apa sebenarnya penyakit difteri?
Dikutip dari GridHealth.id (grup SURYAMALANG.COM).
Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang menginfeksi tenggorokan dan saluran udara bagian atas, dan menghasilkan racun yang memengaruhi organ lain.
Berikut hal-hal yang perlu anda ketahui tentang penyakit difteri dikutip dari TribunBali.com (grup SURYAMALANG.COM):
1. Disebabkan bakteri menular dan berbahaya

Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jose Rizal Latief Batubara menjelaskan difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheriae yang menular dan berbahaya.
Penyakit ini bisa mengakibatkan kematian lantaran sumbatan saluran nafas atas a toksinnya yang bersifat patogen, menimbulkan komplikasi miokarditis (peradangan pada lapisan dinding jantung bagian tengah), gagal ginjal, gagal napas dan gagal sirkulasi.
"Difteri itu gejalanya radang saluran nafas, ada selaput putih dan gampang berdarah, dan toksinnya itu yang bahaya, bikin kelainan jantung, meninggal," katanya.
Difteri menimbulkan gejala dan tanda berupa demam yang tidak begitu tinggi, 38ºC, munculnya pseudomembran atau selaput di tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, sakit waktu menelan, kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening leher dan pembengakan jaringan lunak leher yang disebut bullneck.
Adakalanya disertai sesak napas dan suara mengorok.
2. Penyakit lama yang muncul kembali

Difteri sebenarnya merupakan penyakit lama yang sudah ada vaksin penangkalnya yang disebut vaksin DPT. Idealnya, vaksin ini diberikan minimal tiga kali seumur hidup sejak berusia dua tahun. Vaksin ini akan efektif jika diberikan setiap 10 tahun.
"Jadi sebenarnya bukan penyakit baru, penyakit lama yang harusnya sudah hilang dengan vaksinasi, tapi karena ada kelompok-kelompok anti vaksinasi yang banyak ini, nggak semua anak lagi yang divaksin jadinya," ujar Jose.
Direktur Surveilans dan Karantina Kementerian Kesehatan, Jane Soepardi menjelaskan sejak tahun 1990-an, kasus difteri di Indonesia ini sudah hampir tidak ada, baru muncul lagi pada tahun 2009.
Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1501/ MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu, apabila ditemukan 1 kasus difteria klinis dinyatakan sebagai KLB.
"Satu kasus difteri, baru suspect saja, itu sudah dianggap kejadian luar biasa, atau KLB, dimana di situ pemerintah harus memastikan dilakukan tindakan-tindakan supaya tidak menyebar karena sangat infectious (menular)," ujar Jane.
Penyebab mewabahnya difteri saat ini, menurut Jane, kurang efektifnya upaya-upaya untuk memastikan penyakit ini tidak menyebar.
"Dari tadinya beberapa kabupaten di Jawa Timur pada tahun 2009, saat ini sudah 20 provinsi dengan 95 kabupaten," jelasnya.
3. Prosentase meninggal 6%
Dituturkan Jane, sejak tahun 2015, jumlah kematian akibat difteri meningkat hingga 502 kasus. Untuk tahun ini saja, sejak Januari hingga November tercatat lebih dari 590 kasus dengan prosentase kematian sekitar 6%.
"Ada penurunan karena setiap kali ada laporan kasus difteri, maka itu ketentuannya harus segera diperiksa ke laboratorium, apabila dalam tenggorokannya ada selaput yang tebal itu, langsung diberi antibiotik.
Sementara orang-orang yang berada di sekitar juga harus diperiksa tanpa menunggu hasil laboratorium dan diberikan imunisasi tetanus difteri," kata dia.
Artinya, orang-orang tersebut divaksinasi ulang tanpa memandang status vaksinasi sebelumnya.
Indonesia sudah melaksanakan program imunisasi -termasuk imunisasi difteri- sejak lebih dari lima dasawarsa.
Vaksin untuk imunisasi difteri ada tiga jenis, yaitu DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan vaksin Td yang diberikan pada usia berbeda.
Keberhasilan pencegahan difteri dengan imunisasi sangat menentukan cakupan imunisasi, yakni minimal 95%.
Imunisasi Difteri diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah sayu tahun) sebanyak tiga dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak satu bulan.
Selanjutnya, diberikan imunisasi lanjutan (booster) pada anak umur 18 bulan sebanyak satu dosis vaksin DPT-HB-Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas 1 diberikan satu dosis vaksin DT, lalu pada murid kelas 2 diberikan satu dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas 5 diberikan satu dosis vaksin Td.
"Sehingga kita harus memastikan lagi ini semua kita minta masyarakat maupun petugas kesehatan untuk memastikan anak-anak itu status imunisasinya lengkap karena pencegahan satu-satunya difteri itu adalah imunisasi dan kita tahu ada kelompok-kelompok yang menolak dan tidak sadar sehingga anaknya tidak diimunisasi," jelas Jane.
4. Juga menyerang orang dewasa

Sebelumnya, kasus difteri banyak terjadi terhadap anak-anak. Namun kini Kementerian Kesehatan juga menemukan meningkatnya kasus difteri yang terjadi pada orang dewasa.
"Kita menduga karena imunisasi yang sudah begitu luas, maka kuman difteri di Indonesia itu nampaknya populasinya sudah semakin turun. Sehingga diduga booster alamiah sudah semakin kurang sehingga mulailah ada orang yang sudah dimunisasi dasar, kena," kata dia.
Di Indonesia, demografi usia yang memiliki kekebalan dasar rata-rata berusia dibawah 40 tahun. Untuk usia di atas itu, sayangnya, tidak mendapatkan imunisasi dasar ketika mereka kecil. Mereka lah yang rentan terhadap penyakit ini.
Peneliti ciptakan ‘vaksin’ untuk tangkal serangan siber global
Dipercepat, pembuatan vaksin untuk tiga virus mematikan
Akibat penolakan dan hoaks, imunisasi massal campak dan rubella MR diperpanjang
"Di negara maju ada imunisasi tetanus difteri setiap 10 tahun sampai seumur hidup. Indonesia sedang mengarah ke sana, kita sedang merancang akan melaksanakan ini,"
Sementara saat ini Indonesia belum memiliki program imunisasi difteri untuk dewasa, yang dilakukan Kementerian Kesehatan untuk mengatasi KLB difteri saat ini adalah menghimbau orang tua, guru, petugas kesehatan, memastikan status imunisasi lengkap.
"Yang tidak lengkap segera datang untuk melengkapi. Kemudian jika ada satu kasus KLB, itu langsung diberikan imunisasi Td di sekitarnya, itu harus, jangan sampai ada yang menolak. Juga harus ada yang memastikan semua orang meminum antibiotik sampai selesai dengan begitu kita bisa hentikan penyebarannya."
5. Kelompok penolak vaksin
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi menambahkan munculnya KLB Difteri dapat terkait dengan adanya immunity gap, yaitu kesenjangan atau kekosongan kekebalan di kalangan penduduk di suatu daerah.
Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri, karena kelompok ini tidak mendapat imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya.
Akhir-akhir ini, di beberapa daerah di Indonesia, muncul penolakan terhadap imunisasi.
"Penolakan ini merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya cakupan imunisasi. Cakupan imunisasi yang tinggi dan kualitas layanan imunisasi yang baik sangat menentukan keberhasilan pencegahan berbagai penyakit menular, termasuk difteri," ungkap Oscar.
Jose Batubara menegaskan pemerintah harus tegas terhadap kelompok-kelompok antivaksin ini.
"Mesti dikasih peringatan. Termasuk ada beberapa artis yang hidup dengan herbal aja, tanpa vaksin. Jadi banyak berkembangnya, tidak hanya di kelompok Islam, tapi kelompok Kristen juga berkembang," kata dia.
Buah Untuk Obat
Dilansir dari Deherba.com via GridHealth.id, selain pengobatan medis dengan antibiotik dan antitoksin, difteri dapat diobati dengan alternatif lain.
Obat herbal berasal dari buah-buahan ini disebut mampu meningkatkan kelangsungan hidup dan penyembuhan penyakit difteri.
1. Jus Nanas
Buah nanas mengandung bromelein yang sangat baik untuk antiradang dan membantu mengelupas sel-sel rusak pada area tenggorokan.
Nanas juga baik untuk membantu meluruhkan membran kelabu akibat difteri.
Senyawa dalam nanas meningkatkan imunitas karena mengandung antioksidan cukup tinggi.
2. Bawang Putih Segar
Kandungan minyak atsiri bekerja sebagai antibakteri dan antiradang.
Senyawa organosulfida secara aktif mampu meluruhkan membran kelabu.
Sementara kandungan lain seperti saltivine terbukti baik untuk memperbaiki kerusakan sel dan mengembalikan fungsi sel juga jaringan di area diniding tenggorokan.
3. Jeruk Nipis dan Rosella
Campuran air rebusan bunga rosella dengan perasan jeruk nipis menghasilkan antitoksin yang mampu menetralisir racun dari bakteri Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacterium ulcerans.
4. Mengkudu
Kandungan antitoksin xeronine dan flavonoid baik untuk mengatasi masalah tumpukan toksin dalam darah.
Kandungan antibiotik alami di dalamnya mampu bekerja aktif melawan bakteri.
Terdapat pula scolopetin dan terpenoid yang efektif meredakan peradangan dan membantu pemulihan sel pada tenggorokan.
Alternatif obat herbal tersebut dapat dijadikan pengobatan tunggal maupun pendamping pengobatan medis.
Nah keempat buah dan tanaman tersebut dipercaya dapat pulihkan kondisi seseorang yang mengidap difteri dan dapat mencegah penularan penyakit ini.