Nasional
RESMI Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen per 1 Januari 2020, ICW Deteksi Ada 49 Potensi Kecurangan
RESMI Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen per 1 Januari 2020, ICW Deteksi Ada 49 Potensi Kecurangan
Penulis: Frida Anjani | Editor: eko darmoko
SURYAMALANG.COM - Resmi! iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan naik sebesar 100 persen per 1 Januari 2020.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan ada 49 potensi penipuan atau kecurangan pada sistem BPJS Kesehatan.
Berikut perbandingan iuran BPJS Kesehatan sebelum dan sesudah harga dinaikkan yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020 mendatang.

Melansir dari Kompas.com dalam berita berjudul "Sah, Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen Mulai 1 Januari 2020", Presiden Joko Widodo telah meresmikan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen pada, Kamis (24/10/2019).
Kenaikan harga iuran BPJS Kesehatan ini hanya berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.
Adapun aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan," ujar Jokowi dalam Perpres No.75 Tahun 2019.
Kemudian, penjelasan mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen terangkum dalam Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019.
Perbandingan Tarif BPJS Kesehatan Sebelum dan Sesudah Naik
Presiden Joko Widodo meresmikan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen.
Berikut rincian kenaikan iuran BPJS Kesehatan berdasarkan golongan kelas BPJS Kesehatan.
Kelas I
Sebelumnya, para peserta BPJS Kesehatan kelas I diwajibkan untuk membayar iuran sebesar Rp 80 ribu per bulan.
Kini setelah mengalami kenaikan, para peserta BPJS Kesehatan kelas I harus membayar sebesar Rp 160 ribu.
Kelas II
Peserta BPJS Kesehatan kelas II sebelumnya diwajibkan untuk membayar iuran sebesar Rp 55 ribu.
Setelah iuran BPJS Kesehatan resmi dinaikkan oleh Presiden Jokowi, para peserta wajib membayar sebesar Rp 110 ribu per bulan.
Kelas III
BPJS Kesehatan kelas III memiliki iuran bulanan terendah yakni sebesar Rp 25,5 ribu per bulannya.
Kini setelah iuran BPJS Kesehatan dinaikkan, para peserta harus membayar iuran sebesar Rp 42 ribu per bulan.
Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Ana Ma'ruf menyampaikan bahwa kenaikan iuran tersebut akan berlaku mulai 1 Januari 2020.
"Untuk (kelas) mandiri akan berlaku di 1 Januari 2020, dengan penyesuaian sebagaimana dalam Perpres dimaksud. Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000, kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, dan kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000," ujar Iqbal, Rabu (30/10/2019) dikutip dari Kompas.com.
Iqbal menambahkan, kenaikan iuran juga berlaku bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, untuk golongan PBI ini yang awalnya dikenakan tarif iuran sebesar Rp 42.000 per bulan menjadi Rp 19.000 per bulannya yang dibayarkan oleh pemerintah.
Aturan untuk PBI ini mulai berlaku sejak 1 Agustus 2019.
"PBI (APBD dan APBN) berlaku per 1 Agustus 2019. Khusus PBI (APBD) periode Agustus-Desember 2019 ditanggung oleh Pemerintah Pusat untuk selisih Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 atau Rp 19.000," ujar Iqbal.
ICW Deteksi Ada 49 Potensi Kecurangan di BPJS Kesehatan
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 49 potensi fraud atau penipuan yang dilakukan baik oleh peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan, BPJS sendiri, maupun penyedia obatnya.
Perwakilan ICW Dewi Anggraeni mengatakan, sejak tahun 2017 pihaknya memantau banyak jenis fraud yang dilakukan dalam penyelenggaraan BPJS.
Hasil temuannya di seluruh Indonesia, hampir sama.
"Kami menemukan 49 jenis fraud yang dilakukan pasien, BPJS, dan penyedia obat. Sebenarnya hasilnya sama," kata Dewi dalam diskusi bertajuk BPJS Salah Kelola, Pelayanan Publik Disandera yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2019) dilansir dari Kompas.com dalam berita berjudul ICW Temukan 49 Potensi Penipuan di BPJS Kesehatan.

Dewi menjelaskan, temuan ICW dari tingkat peserta BPJS Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Penerima Bantuan Iuran (PBI) memperlihatkan adanya manipulasi penggunaan Kartu Indonesia Sehat (KIS) oleh orang yang bukan pemilik kartu.
"Hal tersebut terjadi karena pasien merupakan pasien miskin dan tidak terdaftar sebagai peserta JKN-PBI," kata dia.
Selanjutnya, temuan fraud di tingkat puskesmas terjadi dalam bentuk penerimaan uang oleh pihak puskesmas untuk mengeluarkan rujukan kepada pasien.
ICW menemukan kecurangan puskesmas berupa tidak optimalnya menangani pasien dan segera merujuk pasien ke rumah sakit.
Tujuannya adalah agar dana kapitasi yang diperoleh dari BPJS Kesehatan tidak berkurang secara signifikan.
"Jadi mereka (pasien) datang ke puskesmas, tapi dirujuk. Padahal diagnosisnya bisa ditangani puskesmas. Kami melihatnya itu bukan 1-2 kali," kata dia.
Sementara temuan fraud penyedia obat, kerap terjadi di tingkat rumah sakit.
ICW menemukan alat kesehatan dan obat tidak digunakan secara optimal dalam pengobatan pasien, tetapi tetap ditagihkan dalam klaim rumah sakit.
"Pasien juga harus membeli obat di luar karena stok obat instalasi rumah sakit habis. Hal ini diduga sengaja terjadi karena rumah sakit tidak konsisten dan disiplin menjalankan Rencana Kebutuhan Obat (RKO)," ujar dia.
Dia mengatakan, tahun 2019 pihaknya menemukan fraud terkait obat tersebut, setidaknya terdapat di 4 daerah.
"Menyatakan hampir di semuanya, obat harus selalu beli. Dari harga Rp 10.000 hingga Rp 750.000. Itu rata-rata uang yang dikeluarkan pasien padahal tidak boleh, tidak ada mekanismenya seperti itu," kata dia.
ICW selalu melakukan focus group discussion setelah melakukan pemantauan dengan kementerian terkait maupun BPJS.
"Mereka mengiyakan semua temuan fraud yang ICW temukan bahwa itu benar terjadi. Mereka ingin dapat data untuk verifikasi itu, tapi kami lihat belum ada perbaikan dan tindak lanjutnya seperti apa," ujar Dewi.