Berita Lumajang Hari Ini

Permintaan Peti Mati di Masa PPKM Darurat Naik, Perajin di Tulungagung Tak Sanggup Penuhi Demand

Dalam satu hari, perajin peti mati di Tulungagung, Supono, bisa membuat 5-6 peti. Seluruhnya langsung dibeli di hari yang sama untuk penguburan.

Penulis: David Yohanes | Editor: isy
david yohanes/suryamalang.com
Supono (70), perajin dan penjual peti mati di Tulungagung, tengah menyelesaikan pesanan peti mati. 

Berita Tulungagung Hari Ini
Reporter: David Yohanes
Editor: Irwan Sy (ISY)

SURYAMALANG.COM | TULUNGAGUNG - Di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di Tulungagung, perajin peti mati meraup untung.

Setiap hari jumlah pesanan yang masuk meningkat hingga 500 persen dibanding sebelum terjadi ledakan kasus.

Hal ini diungkapkan Suhajar (61), bagian penjualan peti mati yang dikerjakan kerabatnya, Supono (70) di Dusun Kedung Taman RT4 RW 7, Desa/Kecamatan Kedungwaru.

“Sudah dua minggu ini naik. Berapapun yang ada semua dibeli perorangan dan rumah sakit,” terang Suhajar, Senin (12/7/2021).

Menurut Suhajar, sebelum Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat rata-rata setiap hari hanya laku satu peti mati.

Bahkan sering tidak ada permintaan sama sekali.

Namun sejak dua minggu lalu, permintaan mengalir mengalahkan kapasitas produksi.

“Semua kan dikerjakan manual, tidak menggunakan mesin. Makanya produksinya juga terbatas,” sambung Suhajar.

Dalam satu hari, Supono bisa menghasilkan 5-6 peti mati.

Seluruhnya langsung dibeli di hari yang sama untuk kepentingan penguburan.

Suhajar menjual peti-peti ini seharga Rp 360.000 per buah.

“Untuk ongkos tukangnya langsung dipotong Rp 70.000 per buah. Biasanya pembeli yang mengambil ke sini,” ujarnya.

Peti mati yang dibuat Supono menggunakan bahan baku papan partikel atau MDF.

Karena permintaan yang melonjak, harganya per lembar pun naik dari Rp 150.000 menjadi Rp 180.000.

Setiap enam lembar papan partikel, Supono bisa menghasilkan lima peti mati.

Menurut Supono, sebenarnya ada banyak permintaan hingga mencapai 10 buah per hari.

Namun permintaan itu tidak disanggupinya, karena Supono mengaku tidak bisa memproduksi secara massal.

Dirinya hanya mengerjakan semampunya, tanpa mau dibebani target produksi.

“Proses memotongnya yang lama, karena saya tidak menggunakan mesin. Kalau sudah terpotong, memakunya cepat,” ucap Supono.

Supono telah memulai usaha pembuatan peti mati ini sejak 1984.

Awalnya ia melayani perkumpulan kematian desa setempat, lalu berkembang  melayani permintaan dari luar desa.

Karena pengalamannya yang sudah demikian lama, peti mati karya Supono dikenal sangat rapi pengerjaannya.

Peti mempunyai panjang 180 centimeter, lebar bagian kepala 48 centimeter dan lebar bagian kaki 31 centimeter.

Desain peti dibuat sendiri oleh Supono, menyesuaikan perkembangan zaman.

“Sering kali kalau untuk warga miskin, harganya juga dimurahkan. Tidak sama seperti umumnya,” tandas Supono.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved