Berita Tulungagung Hari Ini
Jamasan Pusaka Tombak Kiai Upas Tulungagung Didaftarkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Upacara jamasan tombak Kiai Upas di Tulungagung adalah salah satu budaya yang dilestarikan.
Penulis: David Yohanes | Editor: isy
Berita Tulungagung Hari Ini
Reporter: David Yohanes
Editor: Irwan Sy (ISY)
SURYAMALANG.COM | TULUNGAGUNG - Pemkab Tulungagung kembali menggelar upacara adat jamasan tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas, Jumat (20/8/2021) di tempat penyimpanan pusaka, kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.
Upacara adat kali ini dilaksanakan dengan sangat sederhana, karena dalam suasana PPKM Level 4.
Tidak ada arak-arakan pasukan dan kelompok kesenian, seperti dalam situasi normal.
Selain itu ada hal baru, tombak pusaka ini dikeluarkan hanya oleh dua orang, tidak lagi beramai-ramai.
Bagian mata tombak diangkat lebih tinggi dibanding bagian gagang tombak.
Mengangkat ramai-ramai tombak kini dilarang, karena menyimbolkan kematian.
Tombak digotong bergantian Bupati Tulungagung, Maryoto Birowo dengan pejabat Forkopimda Tulungagung.
“Kami juga membatasi undangan kurang dari 50 orang. Semua untuk menjaga protokol kesehatan,” ujar Maryoto.
Maryoto mengungkapkan, tombak Kiai Upas pertama kali dibawa Bupati Ngrowo, yang bernama Raden Mas Pringgo Kusumo.
Tombak Kiai Upas ini menjadi simbol kepercayaan komando dari Kerajaan Mataram pada Adipati Ngrowo, yang dikemudian hari berubah menjadi Tulungagung.
Tombak Kiai Upas ini dipelihara turun temurun oleh keluarga Pringgo Kusumo, sampai akhirnya diserahkan ke Pemkab Tulungagung sekitar tiga tahun lalu.
“Sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan menjadi pusaka Kabupaten Tulungagung,” ucap Maryoto.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tulungagung, Bambang Ermawan, upacara jamasan tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas ini adalah salah satu budaya yang dilestarikan.
Acara adat ini menjadi bagian program nasional untuk menjaga keberagaman, melestarikan dan tumbuh kembang budaya.
“Ini adalah salah satu budaya adiluhung Kabupaten Tulungagung yang wajib kita jaga,” ujar Bambang.
Upacara adat jamasan pusaka ini juga menjadi salah satu warisan budaya tak benda yang didaftarkan untuk diregistrasi.
Selain jamasan tombak Kiai Upas, upacara adat lain yang didaftarkan adalah manten kucing, ulur-ulur, dan buceng ladang-wadon.
Upacara manten kucing dilaksanakan masyarakat adat di Cuban Kromo saat mengalami kemarau panjang.
Upacara adat ini dimaksudkan untuk permohonan datangnya hujan.
Adat ulur-ulur dilaksanakan di Telaga Buret Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat sebagai bentuk ucapan syukur kelimpahan air untuk pertanian dari telaga ini.
Sedangkan buceng lanang dan buceng wadon adalah dua tumpeng raksasa saat upacara peringatan hari jadi Kabupaten Tulungagung.
Buceng lakang berisi nasi kuning beserta lauk pauk, sedangkan buceng wadon berisi hasil bumi.
Sedangkan tombak Kiai Upas tertulis dalam sejarah tutur tentang Adipati Mangir Wanabaya, atau Mangir IV.
Beliau adalah penguasa tanah perdikan sejak era Kerajaan Majapahit, lalu wilayahnya masuk Kerajaan Mataram.
Raja Mataram kala itu, Penembahan Senopati berusaha menaklukan Mangir.
Namun karena kesaktian tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas, Mangir sulit dikalahkan.
Raja kemudian melakukan tipu muslihat dengan mengirimkan anaknya, Retno Pembayun dengan menyamar penari tledek.
Mangir yang terpikat lalu menikahi Retno Pembayun.
Seiring perjalanan waktu, Pembayun mengungkap jati dirinya sebagai anak raja.
Ia kemudian mengajak Mangir untuk menghadap ayahandanya, yang juga seorang raja Mataram.
Saat hendak sowan mertua inilah, Mangir harus meninggalkan tombak Kiai Upas.
Sebab tradisi ketika menghadap raja, tidak boleh membawa senjata.
Saat tanpa senjata itulah Mangir dibunuh. Namun sepeninggal Mangir, tombaknya menimbulkan pagebluk (wabah penyakit).
Untuk menghentikan pagebluk, tombak pusaka ini dibawa ke Kadipaten Ngrowo, yang sekarang menjadi Kabupaten Tulungagung.