Sosok
Gerakan I Litterless Baru Gandeng 12 Kafe di Malang Karena Minim SDM, Dapat 150 kg Sampah per Minggu
Pemilihan kafe sebagai sasaran gerakan I Litterless karena keberadaan kafe-kafe di Kota Malang adalah khas.
Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM, MALANG - Pasangan suami istri Ence Adinda dan Mayeda punya alasan tersendiri mengapa memilih kafe sebagai 'sasaran' gerakan I Litterless
Pemilihan kafe sebagai sasaran gerakan I Litterless karena keberadaan kafe-kafe di Kota Malang adalah khas.
Sebanyak 60 persen penduduk Malang adalah anak muda. Hal ini karena banyaknya perguruan tinggi dan sekolah.
Kafe bagi anak-anak muda di Kota Malang bak rumah kedua mereka.
Selain itu pertumbuhan kafe di Kota Malang juga menjamur. Saat pandemi, kini mencapai 400 an kafe.
Dari kafe-kafe itu pasti ada timbulan sampah.
Pada Juli 2021 atau sebulan setelah workshop pada Juni 2021, mereka mulai melakukan program Pick Up My Litter (PML).
Awalnya ada lima kafe pelopor dan kemudian berkembang jadi 12.
"Kafe-kafe lainnya pingin. Tapi baru 12 kafe yang kami handle. Kami masih punya satu kurir. Sedangkan belasan kafe ingin join. Meski kami ingin memperluas gerakannya tapi terbatas SDmnya," papar wanita berkacamata ini.
Salah satu contoh kendala di lapangan, misalkan jika saat hujan, maka penjemputan molor.
"Maklum, masih babad alas," jawab Ence. T
Tapi dari kendala-kendala yang ditemui saat menjalankan layanan PML, jadi diketahui bagaimana alurnya, hingga bisa jadi bekal membuat kerjasama berikut SOP-nya.
"Karena ketika kami masuk ke gerakan pemilahan sampah, maka saat kami akan datang ke kafe harus ada tool-nya. Seperti edukasi dulu pada pekerja-pekerjanya. Alur ini harus dipatenkan agar ada sistemnya," kata Ence yang merupakan fouder dan direktur i Litterless ini.
Baca juga: Pasutri Ence Adinda-Mayeda Tekun Merintis Gerakan Pilah Sampah Kafe di Kota Malang, I Litterless (1)
Untuk pick up sampah yang dipilah, tidak ada biaya yang harus dikeluarkan pihak kafe, alias gratis.
Saat pengangkutan sampah juga dihitung untuk dilaporkan pada owner kafenya.
Mereka mengambil separuh dari harga, misalkan sampah X jika di Bank Sampah Rp 1000 per kg, pemilik kafe dapat Rp 500/kg karena service mereka gratis.
Nominal Ini yang dipakai untuk operasional gerakan mereka.
Dikatakan Mayeda, memang ada kendala dalam melaksanakan ini, terutama di pekerja kafe.
Sebab dengan memilah sampah, maka mungkin pekerja merasa menambah beban kerja. Sehingga ada penolakan.
"Kalau dari owner kafe sudah paham bahwa dari kegiatan mereka pasti memproduksi sesuatu berupa limbah," jawab Ence.
Tapi ada juga owner yang orientasinya pada profit. Tipikal owner seperti ini pola pikirnya ; ketika ditambahi kerjaan memilah sampah, maka harusnya ada timbal balik dari gerakan ini.
"Padahal kami malah membantu. Konsep ini ingin kami ubah mindset-nya. Karena ini bukan semata-mata uang atau imbalan," jelas Ence.
Untuk berubah ini memang butuh perubahan yang smooth.
Mayeda sendiri pernah kerja di kafe dan tahu beban kafe untuk membayar retribusi sampah.
Sedang gerakan mereka free service. Bahkan ada benefit bahwa kafe mereka ramah lingkungan karena mau memilah sampah.
Menururnya, hasil sampah kafe tidak selalu sama. Jika kafenya ramai, maka sampahnya pasti lebih banyak dibanding yang biasa.
Jenis sampah kafe seperti bekas botol minuman, kaleng SKM, bungkus mie instan, botol beling sirup dll.
Pada kafe, mereka tidak memaksakan menyerahkan seluruh sampahnya.
Sebab ada yang bisa mereka jual sendiri seperti kardus/karton atau terlanjur diambil pemulung.
Pada kafe yang ramai, sampah anorganik yang didapat antara 1,5 kg sampai 2 kg per minggu.
Khusus kotak susu per kafe per dua minggu bisa dapat 2 kg.
Sedang botol beling/kaca bisa 1,5 kg sampai 2 kg.
Pada 12 kafe mitra pada setiap minggu tidak selalu menyetorkan sampah karena tergantung keramaian kafenya.
"Yang jelas, kami dapat sampah 100 kg-150 kg per minggunya. Sedang setor sampah ke Bank Sampah Malang setiap dua minggu sekali," jawab Mayeda.
Jika dari revenue sampah belum bisa diandalkan, gerakan ini mendapat pemasukan dari kegiatan lain.
Seperti jadi pemateri tentang sampah atau lingkungan. Misalkan pernah diundang sekolah internasional.
"Awalnya ya kolab live di IG, akhirnya bisa jadi pemateri," cerita Ence.
Mereka juga memiliki prototipe boneka pemilah sampah yang pernah diletakkan di sebuah kafe di Malang sebagai tempat drop box.
Mereka berharap pada tahun ini bisa membuat 10 replika agar memudahkan pemilahan sampah pengunjung kafe.
Untuk ekspansi gerakan mereka, boneka ini sudah pernah dibawa ke kafe di Surabaya.
(bagian 2 -selesai)