Sosok
Pasutri Ence Adinda-Mayeda Tekun Merintis Gerakan Pilah Sampah Kafe di Kota Malang, I Litterless (1)
Pasutri warga Kota Malang ini secara mandiri merintis sebuah gerakan pilah sampah yang diarahkan untuk sampah kafe di kota Malang
Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM, MALANG - Pasangan suami istri (Pasutri) Ence Adinda dan Mayeda konsen menangani sampah kafe di Kota Malang dengan gerakan pilah sampah, khususnya anorganik.
Pasutri warga JLPulau Sayang Kota Malang ini secara mandiri merintis dan menjalani sendiri dulu sebuah gerakan pilah sampah yang diarahkan untuk sampah kafe di kota Malang.
Kini upaya mereka mulai mendapat respon. Saat ini sudah ada 12 kafe yang digandeng.
Untuk kegiatan ini, mereka membentuk gerakan yang disebut I Litterless. Yang artinya "aku minim sampah".
Berdua mereka secara mandiri berbagi tugas dalam memilah sampah kafe.
Mayeda bertugas mengambil sampah-sampah kafe yang sudah dipilah.
Saat sampai di rumah, keduanya akan memilah lagi dan mencatat sampah saja dari kafe mitra mereka.
Sampai saat ini mereka memakai rumah mereka sebagai basecamp.
Sampah yang dikumpulkan diletakkan di halaman samping rumah mereka di JL.Pulau Sayang Kota Malang.
Setiap dua pekan, sampah kafe itu akan disetorkan ke Bank Sampah Malang (BSM).
Setiap tiga bulan sekali, hasil penjualan sampah dari kafe dikembalikan.
Tapi umumnya oleh kafe didonasikan pada gerakan mereka.
Hasil dari pelayanan sampah ke kafe masih belum bisa dijadikan revenue I Litterless karena sadar akan kekurangan SDM.
"Kami masih melakukan berdua," jawab Ence pada suryamalang.com beberapa waktu lalu.
Ia sendiri memiliki kesibukan mengajar. Begitu juga suaminya yang bergerak di bisnis kuliner.
"Awalnya saya dan Mayeda sudah konsen pada sampah sejak pacaran karena aktifitas sehari-hari. Ketika kami menikah, rumah kami dekat Bank Sampah Malang," kata wanita asal Malang ini
Titik Balik Gerakan I Litterless
Pada saat akhir tahun 2020, mereka mendapat parcel-parcel yang menimbulkan sampah.
Setelah menikah, sampah belanja bulanan juga banyak, terutama sampah anorganik.
Dari situlah ada titik poin untuk mulai memikirkan bagaimana mengelola sampah-sampah ini.
Maka mereka mencari info ke BSM (Bank Sampah Malang) dan menanyakan sampah apa saja yang bisa diterima dan bagaimana pengumpulannya.
"Saat di sana, kami tertarik banget ternyata ada fasilitas bagi mereka yang aware pada hal ini. Kami juga jadi paham bagaimana pentingnya pemilahan sampah," kata Ence.
Tapi masalahnya adalah BSM tidak bisa melakukan penjemputan jika sampahnya kurang dari 50 kg.
Sedang sampah anorganik skala rumah tangga untuk menjadi 50 kg banyak sekali. Sebab seperti plastik beratnya enteng.
"Akhirnya kami melakukan edukasi lewat sosial media karena saya dan Mayeda aktifnya di medsos. Dimulai dari inner circle di IG yaitu pada teman-teman kami membicarakan apa yang mereka ketahui soal BSM," jelasnya.
Dari awalnya mengenalkan Bank Sampah, akhirnya mereka ingin terlibat dalam dalam pick up sampah karena ada kendala harus mengumpulkan 50 kg.
"Kami ingin membuat layanan karena kendala itu. Awalnya ya sesimpel itu gerakan kami. Ingin jadi jembatan antara BS (Bank Sampah) dan individu-individu," jelasnya.
Mereka kemudian memanfaatkan teman-temannya yang memiliki kafe.
Awalnya , untuk memperkenalkan gerakan i Litterless . Konsep itu digarap pada Desember 2020 dan diaplikasikan pada Juni 2021.
Dimulai dengan workshop dengan owner-owner kafe di Malang pada Juni 2021.
Awal geralan adalah mengenalkan service pada mereka.
Namun keduanya mendapatkan masukan dan evaluasi saat menjalankan langkah pertama itu.
Mereka baru menyadari , ada pemikiran tidak ada urgensinya memilah sampah di kafe.
"Yang kami tangkap adalah ada missing lyric pada gerakan kami. Harusnya dimulai dari edukasi dulu baru ke service," papar Ence.
Akhirnya mereka pindah haluan ke edukasi pilah sampah dulu baru ke service.
"Gerakan kami kini malah ke non provit. Dimana kita jadi mitra inovasi dan program terkait sampah," kata Mayeda.
Ditambahkan Ence, ini memang terkait dengan mindset bahwa pilah sampah itu penting.
"Jika kita ngelihat di tempat umum kan tempat pembuangan sampah sudah banyak dan dipilah-pilah. Tapi apakah perilakunya sudah sesuai dengan fasilitas yang disediakan? Itu yg masih dipertanyakan," kata Ence.
Intinya, setelah ada workshop yang awal sasarannya ke individu, akhirnya menyasar ke kafe.
(bersambung)