Aturan Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Cuti Suami 40 Hari Dalam RUU KIA Segera Disahkan di Paripurna DPR
Rancangan Undang-undang KIA yang terdapat usulan cuti melahirkan jadi bulan bagi ibu dan cuti 40 hari bagi ayah itu dijadwalkan akan disahkan 30 Juni
Penulis: Dyan Rekohadi | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM, JAKARTA - Aturan baru terkait cuti melahirkan yang diusulkan menjadi selama 6 bulan dan cuti mendampingi untuk ayah atau suami selama 40 hari dalam Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) akan segera disahkan.
Rancangan Undang-undang KIA yang kini jadi sorotan dengan adanya usulan aturan cuti melahirkan yang lebih panjang baik bagi ibu dan ayah itu bahkan dijadwalkan akan disahkan pada Kamis, 30 Juni 2022.
RUU KIA sudah dijadwalkan akan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna hari Kamis, 30 Juni 2022.
Kepastian penetapan RUU KIA sebagai RUU inisiatif DPR itu diungkap oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani.
"Badan musyawarah (Bamus) DPR sudah menyepakati RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA akan disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna terdekat," kata Puan Maharani, kepada wartawan, Jumat (24/6/2022).
Setelah RUU KIA disahkan sebagai RUU inisiatif DPR, pihak dewan perlu menunggu surat presiden (Supres) dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari Pemerintah sebelum Bamus memutuskan alat kelengkapan dewan (AKD) yang akan bersama Pemerintah melakukan pembahasan tingkat I.
"Kita berharap proses dan mekanisme pembahasan RUU KIA berjalan dengan lancar sehingga Indonesia bisa segera memiliki pedoman maupun payung hukum yang lebih rigid dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak," ujarnya.
Puan memahami usul cuti melahirkan 6 bulan untuk ibu bekerja menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Meski begitu, ia memastikan perumusan RUU KIA tidak akan bertentangan dengan undang-undang lainnya, termasuk UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
"DPR bersama Pemerintah akan meminta masukan dari seluruh stakeholder terkait. Dan kita berharap dapat ditemukan solusi terbaik yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak,” ujar Puan.
“Untuk itu, saya meminta dukungan dari masyarakat sehingga kami dapat menghasilkan produk hukum yang baik untuk rakyat, khususnya bagi kesejahteraan ibu dan anak yang sangat penting dalam pembangunan bangsa," lanjutnya.
Puan mengatakan, RUU KIA sangat penting untuk mengatur percepatan mewujudkan kesejahteraan keluarga, terutama kesejahteraan ibu yang melahirkan generasi penerus bangsa dan kesejahteraan anak sebagai pewaris dan penerus kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Puan, kesejahteraan keluarga menjadi jaminan dalam menciptakan manusia unggul dalam rangka mencapai Indonesia Emas 2045.
"Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara untuk memajukan SDM bangsanya lewat kesejahteraan keluarga tiap-tiap rakyatnya," ucapnya.
"Untuk mencapai tujuan tersebut, kesejahteraan ibu dan anak harus menjadi kunci," imbuhnya.
Mantan Menko PMK itu menegaskan, RUU KIA juga memiliki tujuan agar tumbuh kembang anak sebagai penerus bangsa dapat berjalan dengan baik.
Puan menyebut, RUU KIA akan mendukung upaya Pemerintah menanggulangi masalah stunting yang masih menjadi problem besar di Indonesia.
“Dengan adanya aturan dari RUU KIA, panduan-panduan penanggulangan stunting dan persoalan tumbuh kembang anak bisa semakin jelas. RUU KIA sangat dibutuhkan dalam menyongsong generasi emas Indonesia,” ucapnya.
Untuk diketahui, RUU KIA menekankan pentingnya penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan.
Salah satunya lewat pemenuhan hak dasar orangtua, khususnya ibu, termasuk hak cuti yang memadai bagi orangtua bekerja.
Selain soal cuti melahirkan selama 6 bulan bagi ibu pekerja, RUU KIA juga mengusulkan cuti untuk ayah selama 40 hari.
Dengan cuti ayah ini, diharapkan suami bekerja dapat membantu istrinya merawat anak yang baru lahir.
Pendapat Sisi Pengusaha Terkait Usulan Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Cuti Suami 40 Hari
Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, pelaku usaha berharap pemerintah dan DPR melakukan evaluasi mendalam sebelum menetapkan UU tersebut.
Ini karena hal tersebut menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha.
"Psikologi pengusaha harus dijaga karena merekalah yang akan menjalankan kebijakan ini," kata Sarman, Kamis (23/6/2022).
Sarman menyebut, dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sudah diatur hak cuti hamil selama 3 bulan dan sudah berjalan hampir 19 tahun, di mana pelaku usaha menjalankan aturan tersebut tersebut dengan konsisten.
"Wacana cuti hamil selama 6 bulan dan cuti suami 40 hari harus mempertimbangkan dari berbagai aspek mulai tingkat produktivitas, kemampuan pelaku usaha, dan dampak terhadap pelaku UMKM," paparnya.
"Perlu suatu kajian yang mendalam apakah harus 6 bulan atau cukup 4 bulan misalnya, kemudian apakah cuti suami 40 hari juga menjadi keharusan," sambung Sarman.
Menurutnya, jika suami istri bekerja di tempat yang berbeda dan suami cuti 40 hari dikantornya karena istrinya melahirkan, maka ini akan mengganggu kinerja maupun produktivitasnya di perusahaannya.
"Jangan sampai nanti pengusaha menyiasati pekerjanya menjadi pekerja kontrak, karena harus mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mendapatkan cuti hamil. Jangan sampai kebijakan ini akan semakin menurunkan peringkat produktivitas tenaga kerja kita yang jauh tertinggal," paparnya.
Sarman mencontohkan, UMKM memiliki tenaga kerja antara satu sampai empat, bisa dibayangkan jika pekerja wanitanya cuti selama 6 bulan dan harus mengeluarkan gaji selama cuti tersebut.
"Hal-hal seperti ini harus menjadi pertimbangan dan perhatian karena akan menyangkut nasib 60 juta UMKM kita. Pelaku usaha UMKM harus ada lebijakan khusus, sehingga kebijakan ini nantinya dapat diterima pelaku usaha," ujar Sarman.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com