Berita Jawa Timur Hari Ini
Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Perempuan di Jember Naik
Kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Jember pada 2022 mengalami peningkatkan, tingkat pendidikan rendah menjadi faktor penyebabnya
Penulis: Sri Wahyunik | Editor: rahadian bagus priambodo
SURYAMALANG.COM|JEMBER - Kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Jember, hingga pertengahan 2022 masih terus terjadi.
Berdasarkan data dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Jember, dan UPT Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), serta dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan trend peningkatan kasus jika dibandingkan 2021.
Berdasarkan rekap kasus Unit PPA Satreskrim POlres Jember, pada 2020 terdapat 135 kasus yang ditangani ke Polres Jember, kemudian pada 2021 sebanyak 84 kasus, dan mulai Januari hingga Juli 2022 sudah 41 kasus.
Kasus yang ditangani Unit PPA Polres Jember terdiri atas kekerasan terhadap perempuan dan anak yakni persetubuhan terhadap anak, pencabulan terhadap anak, kekerasan terhadap anak, penelantaran anak, kekerasan seksual (TPKS), perkosaan, dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Sementara itu, jika mengacu data dari UPTD PPA DP3AKB, maka jumlah kekerasan terhadap anak akan lebih banyak.
Sebab kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani UPTD PPA DP3AKB tidak hanya kasus yang masuk ke ranah jalur hukum (litigasi), namun juga non litigasi.
Angka kekerasan anak pada 2021 berdasarkan data UPTD PPA DP3AKB mencapai 181 kasus mulai Januari hingga Desember 2021.
Sedangkan pada 2022, mulai Januari hingga Juli sebanyak 126 kasus.
Kasus yang ditangani berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran, perdagangan manusia, anak berkonflik dengan hukum, dan lain-lain seperti hak asuh anak, hak pendidikan.
Anak berjenis kelamin perempuan yang paling banyak menjadi korban, kemudian anak laki-laki. Kekerasan psikis dan kekerasan seksual merupakan kasus yang mendominasi tindak kekerasan terhadap anak.
Seperti contoh kasus yang ditangani oleh UPTD PPA DP3AKB, kasus kekerasan seksual pada 2021 sebanyak 65 kasus, sementara pada 2022 ada 43 kasus.
Kasus persetubuhan terhadap anak, pencabulan terhadap anak, dan kekerasan terhadap anak juga kasus terbanyak yang ditangani oleh Unit PPA Polres Jember.
Pada 2022, kasus persetubuhan terhadap anak sebanyak 15 kasus, kemudian 6 kasus pencabulan terhadap anak, dan 8 kasus kekerasan terhadap anak.
Karenanya dalam paparannya Kepala Urusan Pimpinan Operasional Satreskim Polres Jember Iptu Eko Yulianto menyebut jika angka kekerasan terhadap anak, juga perempuan meningkat di Jember.
Data yang ditulis Surya ini dipaparkan oleh Eko ketika peluncuran Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Jember, Rabu (10/8/2022).
Kapolres Jember AKBP Hery Purnomo mengaku prihatin atas masih terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Tentunya ini menjadi keprihatinan atas naiknya kasus tahun 2022 dibandingkan kasus tahun 2021," ujar Hery.
Dia menyebut, ada sejumlah faktor masih terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Faktornya antara lain tingkat pendidikan rendah, juga masifnya pemakaian internet.
"Tentunya ini menjadi persoalan sosial tersendiri di masyarakat," tegasnya.
Dia mencontohkan, masih rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan sejumlah kalangan masyarakat tidak bisa mengakses edukasi perihal kekerasan dan bagaimana pencegahannya.
Kadang kala, warga yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, misalnya, juga bingung ketika hendak melapor.
Sementara, tingkat pendidikan rendah ada yang ditambah faktor pemakaian internet yang tidak bijak. Di antaranya, seseorang mengakses video porno.
"Itu bisa saja terjadi terus menerus, akhirnya otak logisnya mencernanya sebagai sesuatu yang tidak salah. Kemudian, dia meniru perbuatan itu kepada anak. Ini terjadi di salah satu kecamatan di Jember, yang sudah ditangani salah satu Polsek kami," tutur Hery.
Pelaku persetubuhan terhadap anak itu sudah ditangkap. Ketika ditanya, dia mengaku sering mengakses video porno, seperti persetubuhan. Kemudian apa yang dia lihat dia praktikkan kepada adik iparnya yang berusia 14 tahun.
Oleh karena itu, ketika menyampaikan sambutan saat peluncuran Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Jember, AKBP Hery menegaskan pentingnya pendidikan seksual (sex education) di lembaga pendidikan.
"Untuk menekan tindak kekerasan ini, memang penting gerakan pencegahan dan penindakan. Harus lebih banyak edukasi, meski kita ketahui bahwa 'sex education' di rata-rata dunia pendidikan di Indonesia masih dianggap tabu. Namun dengan cara yang tepat, lebih soft (halus) apa yang disampaikan ke anak-anak kita tidak akan dicerna dalam bentuk vulgar. Kita harus tekan tindak kekerasan ini," tegas Hery.
Karenanya, dia berharap keberadaan Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak bisa mengambil peran tersebut, bersama dengan stakeholder di banyak elemen, mulai dari tingkat kabupaten sampai kecamatan dan desa.
"Tujuannya supaya sekecil mungkin terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, bahkan sampai tidak terjadi lagi," tegasnya.
Sedangkan Koordinator Pendamping UPTD PPA Pemkab Jember Solehati Nofitasari mengharapkan ada langkah bersama terkait penanganan kekerasan terhadap anak, dan perempuan. "Semoga ke depan lebih baik lagi, apalagi hari ini diluncurkan Satgas PPA," ujar Solehati.
Dia mengakui, penanganan kekerasan terhadap anak dan pencegahannya harus melibatkan banyak stakeholder. Sebab satu kasus, lanjutnya, kerapkali beririsan dengan persoalan lain.
Dia mencontohkan, kasus kekerasan seksual kepada anak bisa beririsan dengan kekerasan ekonomi, juga psikis.
Oleh karena itu, penanganannya harus melibatkan banyak elemen.
"Contoh satu kasus kekerasan seksual yang kami tangani, bisa saja bergandengan dengan kekerasan psikis, bahkan fisik. Sehingga kenapa, data di UPTD PPA akan lebih banyak daripada kasus di Unit PPA Polres Jember. Sebab yang di kami tidak hanya persoalan hukum, namun juga non litigasinya," ujar Solehati.
Dia mencontohkan lagi, bisa saja satu kasus yang awalnya masuk ke Polres Jember, namun kemudian dinilai tidak perlu penyelesaian memakai jalur hukum namun cukup non litigasi, maka akan diserahkan ke UPTD PPA DP3AKB.
Selain itu, Solehati juga berharap pencegahan dan penanganan lintas sektor ini lebih masif, dan terstruktur. Pembagian tugas masing-masing elemen dilakukan secara baik.
Seperti pelibatan psikolog dalam penanganan traumatis penyintas, atau penguatan psikologis.
Kemudian juga peran penting Dinas Pendidikan dan lembaga pendidikan, seperti sekolah. Jika seorang murid menjadi korban kekerasan seksual, sampai misalkan hamil, maka pihak sekolah diharapkan terlibat dalam memberikan solusi dan pendampingan, bukan hanya menjadi 'hakim' dengan memutuskan bahwa seorang anak bersalah atau tidak.
Dalam kasus seperti ini, sejumlah aktivis perempuan dan anak berharap supaya sekolah turut memberikan solusi.
Jika si anak sampai dikeluarkan atau memutuskan keluar, sebaiknya pihak sekolah membantu memberikan alternatif lembaga pendidikan lain. Hal ini untuk mencegah terputusnya pendidikan penyintas.
"Kolaborasi dengan pengada layanan, juga dengan pihak Pemerintah Desa juga sangat penting untuk tindakan pencegahan, sampai dukungan penanganan jika terjadi sebuah tindak kekerasan terhadap anak," tegas Solehati.