Berita Malang Hari Ini

Pendapat Prof Dr Ibrohim dari UM Ihwal Mahkamah Konstitusi Tolak Hapus PPDB Zonasi

Menurut Prof Dr Ibrohim MSi, guru besar Universitas Negeri Malang (UM), "Sistem zonasi dalam PPDB untuk mengatasi pemerataan akses layanan pendidikan.

Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: Yuli A
um
Prof Dr Ibrohim MSi, guru besar Universitas Negeri Malang (UM) 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan menghapus Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi dalam sidang pada 27 September 2023. MK menolak permohonan uji materiil Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2023 Tentang Sistem Pendidikan Nasional karena pokok permohonan dinilai tidak beralasan menurut hukum.

Leonardo Siahaan selaku pemohon Perkara Nomor 85/PUU-XXI/2023 meminta MK untuk melarang penerimaan peserta didik (PPDB) melalui sistem zonasi atau kebijakan lainnya yang menimbulkan kesulitan peserta didik memperoleh pendidikan. Leonardo pada pemeriksaan pendahuluan pada 30 Agustus 2023, ia menjelaskan jika dirinya merupakan anak pertama dan mempunyai dua adik yaitu Simon Fransisco Siahaan dan Yoel Riski Siahaan.


Disebutkan, kedua adiknya mengalami trauma ketika melakukan pendaftaran di sekolah negeri akibat sistem zonasi.

Dalam berkas permohonannya, ia menjelaskan jika penerapan sistem zonasi pada PPDB kerap kali terjadi kasus jual beli bangku atau titipan siswa. Sehingga disebutkan sistem zonasi juga sudah tidak relevan dan menimbulkan kerugian efek domino ke masyarakat. 


Sudah bukan rahasia umum jika ada yang sampai melakukan titip KK pada teman atau anggota keluarga lain yang rumahnya dekat dengan sekolah negeri impian. Tujuannya agar saat ikut PPDB zonasi bisa masuk dari sisi jarak rumah "baru"nya dibanding jarak rumah aslinya dengan sekolah.

Menurut Prof Dr Ibrohim MSi, guru besar Universitas Negeri Malang (UM) yang menaruh atensi pada kebijakan pendidikan, fenomena PPDB zonasi di berbagai daerah setiap tahun selalu ada gejolak. 

"Sistem zonasi dalam PPDB merupakan satu alternatif untuk mengatasi pemerataan akses layanan pendidikan bagi anak-anak di wilayah atau zonanya masing-masing. Jadi sangat keliru kalau ada yang menyatakan bahwa kebijakan zonasi PPDB yang diberlakukan memang awalnya bertujuan baik untuk pemerataan sekolah favorit. Justru sebaliknya meniadakan munculnya sekolah favorit," kata dia pada suryamalang.com, Minggu (8/10/2023). 

Ia menceritakan, dari pengalaman studi banding ke beberapa negara, seperti di Jepang, program wajib belajar 9 tahun, pencanangannya mungkin juga tidak terlalu jauh waktunya dengan Indonesia. Namun pemaknaannya dan implementasinya yang barangkali berbeda.

"Di Jepang, dengan sistem administrasi kependudukan maupun pengelolaan pendidikan yang baik, orang tua tidak pernah takut anak-anaknya tidak mendapat sekolah," kata dia.


Hal ini kerena jumlah sekolah cukup atau memadai sesuai dengan jumlah penduduk usia sekolah. Walaupun kadang-kadang sekolah di kota lebih padat dari di desa. Anak-anak bersekolah di sekolah yang berada di sekitar kompleks tempat tinggal mereka. Mereka bisa berjalan kaki, bersepeda atau mungkin naik bis sekolah jika agak jauh. Ketika mereka lulus SD, orangtuanya sudah diberi tahu dimana selanjutnya anaknya masuk SMP. 


Tidak boleh orangtua memindahkan anaknya di sekolah di luar wilayahnya jika tidak ada alasan kuat yang bisa diterima administratur sekolah. "Dengan demikian, orangtua tidak perlu pagi-pagi sibuk mengantar anaknya ke sekolah yang jauh dari rumahnya. Anak-anak sudah dilatih kemandiriannya untuk berangkat sekolah sendiri. Namun kondisi sebaliknya berbeda di Indonesia, mungkin di daerah tertentu. 


"Akibatnya, adanya status atau stempel sekolah unggul, maka orangtua berlomba memilihkan sekolah untuk anaknya di sekolah-sekolah yang berkategori unggul tersebut," kata dia. Akhirnya dimanapun tempatnya dan berapapun biayanya tidak menjadi masalah. Bahkan tidak jarang, dimana anaknya bersekolah seolah melekat status gengsi orang tuanya. Maka yang terjadi adalah anak di wilayah timur mengejar sekolah bermutu di wilayah barat.


Sebaliknya ada di wilayah barat yang tidak pintar atau tidak mampu mendapat sekolah yang kurang bermutu di wilayah timur. Demikian juga yang dari utara ke selatan atau sebaliknya. Bahkan yang di tengah kota bisa dapat di pinggir karena tidak pintar atau tidak mampu. "Apa yang kita saksikan di pagi hari para orangtua seolah berlomba dengan motor dan mobil membuat kemacetan di setiap jalanan kota. Apa yang mereka cari?" tanyanya.


Maka perlu pengaturan kebijakan yang dibuat oleh pimpinan instansi pendidikan dan pemerintah daerah. "Apakah yang demikian akan kita teruskan?" ujarnya. Biaya pendidikan menjadi mahal karena termasuk biaya transportasinya. Belum lagi risiko kecelakaan yang terjadi akibat balapan di pagi hari oleh orangtua yang mengantar anak-anak yang sudah mepet waktunya dengan jam masuk sekolah. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah pemerataan kualitas gurunya. 


Dijelaskan, pertanyaan besar tentang apakah pembangunan sistem pendidikan di Indonesia telah mencapai tujuan yang esensial, tidak bisa dijawab dengan mudah oleh siapapun. Baik oleh pemerintah, pimpinan lembaga pendidikan, maupan masyarakat sebagai stake holders pendidikan. Karena pada dasar ada berbagai sudut pandang untuk mengartikan atau memaknai setiap aspek pendidikan yang sangat kompleks.


Seperti dipahami bahwa pendidikan merupakan suatu sistem yang dapat dijabarkan menjadi komponen input, proses, output dan outcome. Namun tidak jarang masyarakat melihatnya hanya pada satu aspek saja. Sebagai contoh, di era yang lampau ketika di suatu sekolah dapat memperoleh nilai rerata ujian nasional tinggi atau ada beberapa siswa memenangi olimpiade maka masyarakat pada umumnya mengartikan pendidikan pada sekolah tersebut maju atau baik. 


Sebaliknya demikian, ketika ada satu kasus siswa berperilaku kurang baik di sekolah atau di luar sekolah, maka dikatakan pendidikan di sekolah tersebut jelek atau berkualitas rendah. Ditambahkan, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pendidikan yang baik atau berkualitas adalah pendidikan yang didukung oleh input sarana, biaya, siswa, guru dan kurikulum yang memadai dan berkualitas. 


Input yang baik harus diproses dengan proses pembelajaran dan pengelolaan sekolah yang baik. "Dengan demikian, Insya Allah akan diperoleh lulusan (output) dengan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baik, salah satunya dibuktikan dengan nilai ujian yang tinggi. Nilai ujian hanyalah salah satu indikator output," kata dia. Namun demikian, lanjutnya, masih harus dilihat pada aspek outcome yakni apakah para lulusan sekolah tersebut menjadi warga masyarakat atau pimpinan lembaga yang berkinerja dan berperilaku baik pula. 


Maka tidak tepat jika hanya mengutamakan atau hanya mengagung-agungkan prestasi atau kualitas pendidikan hanya dari nilai ujian atau prestasi suatu kompetesi/lomba yang umumnya hanya diperoleh satu atau beberapa siswa saja. Euforia mengartikan kualitas pendidikan dari banyaknya prestasi lomba-lomba yang dijadikan ajang pencitraan dan menjual nama sekolah untuk menarik siswa, orangtua dan masyarakat harus dipikirkan ulang para pemangku kepentingan dunia pendidikan. 


"Marilah kita kembalikan tujuan pendidikan pada esensi pembangunan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satunya dengan membenahi sistem layanan penerimaan siswa baru di sekolah. Artinya, yang mengalami kemajuan dan peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap adalah setiap anak sesuai dengan potensinya masing-masing," tutur gubes ini.


Sedang terkait sistem penerimaan siswa baru telah berkembang dengan berbagai cara atau metode, yang sudah barang tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman. Kemudian, ketika program pemerintah untuk memajukan pendidikan penduduk Indonesia semakin besar, pemerintah terlambat menyiapkan sarana pendidikan, sehingga banyak pihak swasta atau kelompok masyarakat mendirikan sekolah swasta.


Pada saat itu, untuk masuk ke sekolah negeri yang diasumsikan lebih baik kualitasnya harus dilakukan dengan seleksi menggunakan nilai hasil ujian nasional atau menggunakan tes masuk. Akibat selanjutnya, orangtua menganggap bahwa memperoleh nilai ujian nasional untuk anak-anaknya menjadi sangat penting. Sehingga mereka berlomba-lomba menambah pelajaran untuk anak-anaknya dengan masuk bimbingan belajar (bimbel).


Lalu menjamurlah bimbel di Indonesia dalam pulahan tahun terakhir tapi sudah mulai menurun saat ini. Pelaksanaan PPDB zonasi di Kota Malang yang diingatnya pada 2016 dimulai dengan 25 persen. Kemudian pada 2017 naik 40 persen. Pada 2018, Mendikbud Muhadjir Effendy membawa sistem zonasi ke Jakarta dan dilaksanakan di daerah-daerah namun sistemnya belum dibangun sebetulnya. Untuk membangun PPDB zonasi itu sebenarnya peta kependudukannya harus sudah tidak ada masalah.

 


Jangan Andalkan Zonasi


Masa PPDB zonasi adalah masa paling krusial. Sebab pagunya cukup besar dan dilakukan diakhir jalur PPDB, yaitu 50 persen dari pagu sekolah. Besaran pagu zonasi itu tergantung pada regulasinya yang ditetapkan oleh Mendikbudristek dalam PPDB. Tapi dari catatan suryamalang.com, beberapa tahun terakhir, pagunya 50 persen. Sehingga siswa berharap bisa masuk ke sekolah negeri terdekat rumahnya dengan mudah lewat zonasi.


Sebab zonasi hanya mempertimbangkan jarak rumah ke sekolah tanpa melihat nilai. Tapi kadang harapan tidak sesuai impian. Hal ini karena calon peserta didik juga tidak tahu calon kompetitor di sekitar sekolah itu. Ada yang percaya diri bisa masuk ke sekolah negeri itu karena jarak rumahnya 1 km an. Tapi apa daya, input yang masuk adalah calon siswa memiliki jarak rumah dibawah 1 km. Mungkin jika peta kependudukan jalan senyampang itu, bisa diketahui siswa dan rumahnya di sekitar sekolah itu bisa ketahuan. 


Selain itu PPDB zonasi menyisakah kesedihan bagi siswa yang rumahnya jauh dari sekolah negeri. Hal ini karena lokasi sekolah negerinya. Salah satu warga yang enggan menyebutkan namanya pernah menyampaikan kecurangan masyarakat dalam zonasi agar bisa masuk negeri. "Saya merasa aneh saja, masa ada beberapa orang titik koordinat rumah-sekolah sama," katanya. Sehingga diyakini saat mendaftar tidak dilakukan di rumah calon peserta didik. Tapi di luar rumahnya," kata pria ini.


Dodik Teguh Pribadi, Kabid Pendidikan Dasar Disdikbud Kota Malang beberapa waktu lalu mengatakan agar tidak terlalu mengandalkan zonasi. Peluang bisa didapat dari jalur prestasi nilai rapor. Sehingga siswa bisa mempersiapkan dirinya. Dari beberapa kali PPDB zonasi, perang jarak di zonasi tidak bisa diprediksi namun bisa dijadikan alarm untuk memilih sekolah, termasuk ke sekolah swasta. Namun anehnya, sekolah swasta juga ada kesulitan mendapatkan siswa untuk memenuhi pagunya dari usainya PPDB zonasi.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved