Berita Malang Hari Ini
Jemaat GKJW Sebut Ada Penyelewengan Dana Rp 8,9 Miliar, Desak Polisi Tuntaskan Kasus
Jemaat mendesak polisi menuntaskan kasus dugaan penyelewengan dana hibah sebesar Rp 8,9 miliar milik Kantor Majelis Agung GKJW Malang.
Penulis: Kukuh Kurniawan | Editor: rahadian bagus priambodo
SURYAMALANG.COM, MALANG - Jemaat mendesak polisi menuntaskan kasus dugaan penyelewengan dana hibah sebesar Rp 8,9 miliar milik Kantor Majelis Agung Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Malang. Jemaat sudah melaporkan kasus dugaan penggelapan dana hibah tersebut sejak tahun 2021. Tapi, sampai sekarang kasus yang menyeret sejumlah nama pengurus tersebut terkesan jalan di tempat.
Kasus ini bermula saat pengusaha Hasyim Joyo Hadikusumo memberikan dana hibah ke pihak Majelis Agung GKJW Malang senilai Rp 17 miliar pada tahun 2008. Diharap dana hibah dari adik Ketum Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto tersebut dapat dikelola untuk menunjang pengembangan SDM jemaat secara individual atau kelembagaan GKJW se-Jatim.
Pada tahun 2009, Majelis Agung GKJW Malang membuat regulasi agar dana tersebut dapat tersimpan dan digunakan secara aman. Proses penyimpanan dana tersebut pun dilakukan dengan menunjuk bank pelat merah. Perwakilan dari keluarga besar pemberi hibah juga mengawasi dan mendampingi penggunaan dana tersebut.
Namun proses pendampingan berhenti pada tahun 2014. sejak saat itu pengurus Kantor Majelis Agung GKJW Malang mengelola dana hibah tersebut secara mandiri.
Pada tahun 2019, sejumlah warga GKJW dan beberapa pengurus Majelis Agung GKJW Malang mendapati permasalahan atas pengelolaan dana tersebut. Ternyata pengelolaan dana sekitar Rp 8,9 miliar tidak sesuai dengan peraturan kelembagaan.
Pertama, dana disimpan tidak di lembaga keuangan milik negara dan tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejumlah pengurus meletakkan uang tersebut di Koperasi Simpan Pinjam (KSP) SB, KSP PIS, dan PT IOI.
Kedua, seorang pengurus menggunakan uang tersebut untuk membeli tanah dan membangun rumah kos 30 kamar dengan dalih uang sirkulasi bisnis dapat disebut sebagai pemasukkan lembaga. Namun, proses pembelian dan pencatatan hak milik bangunan kosan tersebut atas nama pribadi.
Jemaat GKJW Malang sekaligus Anggota Majelis Agung GKJW 2022-2025, Pulung Tursuwalanto mengakui tidak salah jika sertifikat tanah dan bangunan tersebut atas nama pribadi. Namun dengan catatan, nama sosok tersebut harus ditunjuk secara sah dan resmi oleh persidangan Majelis Agung GKJW.
"Maksud pembangunan rumah kos tersebut digunakan untuk usaha organisasi GKJW, namun dia membeli tanah dan membangun kos kapasitas 30 kamar dengan nama pribadi. Kalau pakai nama pribadi, seharusnya dia mendapat mandat dari persidangan. Padahal mandat tersebut tidak terjadi," kata Pulung pada 3 Oktober lalu.
Sejak saat itu persoalan dana tersebut menjadi percakapan internal jemaat dan pengurus. Setelah dana tersebut berpotensi tidak kembali, terjadilah rapat internal Majelis Agung GKJW tahun 2020. "Melalui rapat itu, ada informasi bahwa uang Rp 8,9 miliar yang diinvestasikan ke tiga lembaga tersebut bermasalah," ungkapnya.
Rapat internal tersebut memutuskan agar tiga lembaga yang ditunjuk menyimpan dan mengelola dana tersebut segera mengembalikan dana tersebut. Namun, PT IOI dan KSP PIS memasukkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Desas-desus mengenai persoalan dana tersebut makin menguat. Sejumlah jemaat dan pengurus kelembagaan berupaya meminta kejelasan dan pertanggungjawaban atas dana tersebut. Pulung telah melakukan berbagai upaya, termasuk melalui jalur kekeluargaan normatif dan kelembagaan. Namun, hasilnya tetap buntu.
Akhirnya Pulung membuat Laporan Polisi (LP) nomor 09/FD-POLDA JATIM/XI/2021 tanggal 05 November 2021 perihal laporan polisi atas dugaan tindak pidana penggelapan uang gereja oleh oknum PHMA/PLH dan Team Pengembang Dana TA-II di Kantor Majelis Agung GKJW Malang.
Ada lima nama pengurus yang dilaporkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kasus tersebut, yaitu berinisial TFG kala itu sebagai ketua, RS kala itu sebagai wakil, BC kala itu sebagai sekretaris, NHP kala itu sebagai wakil sekretaris, dan TAK kala itu sebagai bendahara.
"Ada nama-nama yang menggunakan jabatannya untuk menempatkan dana kami di GKJW kepada lembaga keuangan yang tidak dibawah OJK. Itu atas nama pribadi," terangnya.
Wartawan Harian Surya sempat menghubungi terlapor BS melalui WhatsApp (WA) dan seluler sejak 9 Oktober, tapi tidak kunjung mendapat respon. Wartawan Harian Surya juga sempat berupaya menemui BS di gereja tempatnya mengabdi yang berada di Kecamatan Gubeng, Surabaya pada 11 Oktober.
Ternyata BS tidak berada di tempat. Menurut pegawai gereja, BS sedang bepergian ke luar kota.
Wartawan Harian Surya juga berupaya menemui BS kembali di gereja pada 13 Oktober. BS juga tidak ada di tempat karena sedang melaksanakan penugasan rutin kegiatan gereja ke rumah jemaat. "Bisa langsung menghubungi beliau melalui ponselnya," ujar pengurus gereja berinisial NL.
Wartawan Harian Surya mencoba menghubungi BS kembali melalui seluler pada 18 Oktober. Namun, tetap tidak mendapat respon. (pam)
Polisi Lansir SP2HP Sebanyak Tiga Kali
MALANG - Penanganan kasus dugaan penyelewengan dana hibah sebesar Rp 8,9 miliar Kantor Majelis Agung Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Malang seperti jalan di tempat. Polresta Malang Kota tak kunjung memberikan hasil penyelidikan dan penyidikan yang signifikan atas kasus tersebut selama dua tahun terakhir.
Sejauh ini penyidik hanya melansir Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) sebanyak tiga kali. Kuasa hukum warga GKJW, Feris Dase mengatakan pihaknya telah menerima beberapa kali surat SP2HP dari penyidik pada 5 November 2021.
Sejumlah surat yang diterima itu belum menunjukkan hasil penegakkan hukum secara signifikan. Bahkan, Feris malah bingung dengan beberapa surat SP2HP yang diterimanya.
Pasalnya, ada kejanggalan pada kepala surat pada kata untuk menjelaskan perihal isi surat. Lazimnya Surat SP2HP tertulis kata 'penyelidikan' sebagai kata kuncinya. Namun, pada beberapa surat malah bertulis kata 'penelitian'.
Feris sudah berupaya menghubungi penyidik. Namun tidak kunjung mendapatkan jawaban. Feris menganggap diksi tersebut aneh, dan tidak biasa untuk surat resmi yang dikeluarkan Polri.
"Saya mau menanyakan, kenapa kok ganti dari penyelidikan ke penelitian. Dalam KUHP kan tidak mengenal kata penelitian," ujar Feris pada 12 Oktober.
Menurut Feris, kasus tersebut tidak wajar karena lebih dari 700 hari tidak kunjung mendapat kepastian penegakkan hukumnya. Feris sempat diskusi dengan pihak penyidik saat hendak memeriksa perkembangan kasus tersebut. Ternyata, penyidik masih berkutat pada kategorisasi penanganan hukum atas kasus ini sebatas pelanggaran aturan keorganisasian kelembagaan, atau sudah masuk ramah kriminalitas pelanggaran tindak pidana.
"Katanya, penyidik masih memberi pendapat. Mereka masih harus melakukan penyelidikan dulu apakah ini pelanggaran atau kejahatan tindak pidana," jelasnya.
Feris menerangkan kasus disebut sebagai pelanggaran jika sejak awal dana tersebut memang digunakan atas persetujuan melalui sidang kelembagaan. "Pelanggaran itu kalau misalnya investasi memang ada akta sidang dari majelis agung bahwa investasi boleh atas nama GKJW. Tapi atas dasar persetujuan dalam sidang," ungkapnya.
Namun konteks kasus ini berbeda. Menurutnya, perbuatan para terlapor sudah masuk dalam kategori pelanggaran tindak pidana karena proses penggunaan uang untuk investasi tersebut menggunakan nama atau diatasnamakan secara pribadi perorangan, bukan lembaga GKJW.
"Kalau investasi tersebut bermasalah, kan dana tersebut tidak dapat kembali ke lembaga karena pakai nama pribadi, dan karena tidak ada standing instruction kesepakatan antar pihak bahwa setelah dana itu cair akan kembali ke lembaga," tambahnya.
Feris Dase menyebutkan apapun itu bentuk sumber dana yang masuk ke rekening resmi milik suatu lembaga, maka sudah sah dianggap sebagai uang lembaga. Artinya, segala cara pengelolaannya patut melalui sejumlah prosedur dan aturan yang disepakati lembaga tersebut.
"Ketika masuk ke rekening gereja, itu akan menjadi uangnya gereja. Penggunaannya pun harus sesuai prosedur," terangnya.
Feris Dase mengungkapkan pihaknya tetap membuka diri jika penyidik memfasilitasi untuk Restorative Justice (RJ). Namun, pihaknya juga menghendaki adanya keterbukaan dan kedewasaan terlapor untuk mengakui kesalahan di hadapan majelis persidangan kelembagaan GKJW.
"Saya sudah sampaikan ke penyidik. Kami siap siap kalau RJ. Tapi selama ini mereka merasa tidak bersalah, dan mereka merasa merasa sebagai korban. Kalau merasa sebagai korban, kenapa mereka tidak melaporkan PT IOI dan KSP ke polisi. Kalau merasa sebagai korban, mereka bisa lapor, dan mereka bisa menyampaikan ke sidang daerah bahwa uang itu masih ada, dan tidak hilang," imbuhnya.
Sampai sekarang Kasatreskrim Polresta Malang Kota, Kompol Danang Yudanto belum merespon konfirmasi dari wartawan Harian Surya sejak Jumat (3/11) lalu. (pam/kuh)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.