Kritik RUU KUHAP

Guru Besar FH UB Kritisi RUU KUHAP, Prof Dr I Nyoman Nurjana : Dapat Menimbulkan Kerancuan

Guru besar FH UB ,I Nyoman Nurjana menilai sejumlah pasal dalam RUU KUHAP dapat menimbulkan kerancuan dalam sistem.

Penulis: Purwanto | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM/Purwanto
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prof. Dr. I Nyoman Nurjana 

Laporan Wartawan : Purwanto

SURYAMALANG.COM, MALANG - Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas saat menimbulkan sejumlah kritikan publik. 

Kali ini Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prof. Dr. I Nyoman Nurjana angkat bicara. 

I Nyoman Nurjana menilai sejumlah pasal dalam RUU KUHAP dapat menimbulkan kerancuan dalam sistem.

Salah satunya adalah Pasal 12 Ayat 11 yang mengatur bahwa jika dalam waktu 14 hari polisi tidak menanggapi laporan masyarakat, maka masyarakat dapat langsung melaporkannya ke Kejaksaan.

Selain itu, pasal tersebut juga memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk menerima laporan masyarakat secara langsung.

"Ini harus hati-hati, dalam sistem peradilan pidana kita, kewenangan Polri sebagai penerima laporan sudah selaras, kecuali untuk tindak pidana khusus seperti korupsi di mana Kejaksaan memang memiliki kewenangan khusus dalam penyidikan," terang Nyoman, Kamis (23/1/2025). 

Menurutnya, kewenangan lembaga penegak hukum, khususnya antara kepolisian dan kejaksaan, dikhawatirkan akan merusak Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu).

"Bicara penegakan hukum adalah bicara tentang sistem yang sudah diatur dalam KUHAP," 

"Dalam hukum acara pidana di Indonesia, kita mengenal sistem peradilan pidana terpadu.” tambahnya. 

Prof I Nyoman menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia sudah memiliki mekanisme yang jelas berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

“Sistem peradilan kita, memiliki beberapa subsistem, yakni tahapan, prosedur, mekanisme, dan kewenangan dalam penegakan hukum," jelas Nyoman. 

Ia menyoroti bahwa kewenangan polisi yang dimulai dari tahapan penyelidikan dan penyidikan.

"Sudah diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, kta ketahui bahwa kewenangan Polri dalam penegakan hukum sudah sangat jelas," urainya. 

"Termasuk penyerahan berita acara penyelidikan (BAP) kepada Kejaksaan untuk menjadi dakwaan atau tuntutan," tambahnya. 

I Nyoman menyoroti bahwa Pasal 111 Ayat 2 dalam RUU KUHAP, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Kepolisian.

Menurutnya, hal ini sangat bertentangan dengan KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi.

"Kewenangan Jaksa untuk menyatakan sah tidaknya penangkapan dan penahanan ini merusak mekanisme yang sudah selaras. Ini dapat menimbulkan conflict of norms dan ketidakpastian hukum," tegas Nyoman. 

Dirinya juga menyoroti perubahan kewenangan kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diperluas melalui UU Nomor 11 Tahun 2021. 

Perubahan ini, termasuk kewenangan untuk melakukan penyadapan dan intelijen, menurutnya sudah cukup luas.

Jika kewenangan Kejaksaan diperluas lagi melalui RUU KUHAP, hal ini akan semakin mengacaukan sistem peradilan pidana.

Prof I Nyoman menegaskan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia adalah sistem yang terpadu. 

Setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan masing-masing yang sudah diatur dalam undang-undang, mulai dari Kepolisian yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002.

Sedangkan untuk Kejaksaan diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2021, hingga pengadilan yang diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

"Penegakan hukum kita sudah jelas, namun jika Jaksa diberikan kewenangan lebih luas, termasuk mengintervensi tahapan penyelidikan dan penyidikan yang menjadi kewenangan Polri, maka ini akan menimbulkan conflict of interest," ujarnya.

Prof I Nyoman juga mempertanyakan apakah RUU KUHAP ini merupakan perubahan dari UU Nomor 8 Tahun 1981 atau rancangan untuk menggantikan undang-undang tersebut secara keseluruhan.

"Jika ini belum jelas, maka perlu kehati-hatian. Jangan sampai perubahan ini merusak sistem yang sudah ada," tegasnya.

Prof I Nyoman bilang bahwa meskipun RUU KUHAP ini masih dalam tahap pembahasan, namun perlu adanya masukan dari Akademisi, Praktisi Hukum, dan Pengamat Hukum harus didengar dan diakomodasi oleh DPR RI.

"RUU ini harus dibahas lebih hati-hati. Jangan sampai adanya perubahan justru merusak sistem peradilan pidana terpadu yang selama ini kita anut," pungkas Prof I Nyoman. (Pur) 

 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved