Ekonomi

Said Abdullah: Pertumbuhan Ekonomi Tinggi dan Berkualitas di Era Presiden Prabowo, Mungkinkah?

Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Sumber Daya, Said Abdullah mengungkapkan sejak 2013 hingga 2024 pertumbuhan ekonomi Indonesia berkutat di level 5 %.

Editor: iksan fauzi
Yusron Naufal Putra
PERTUMBUHAN EKONOMI: Ketua DPP Bidang Sumber Daya sekaligus Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim Said Abdullah dalam suatu acara 2024. Said Abdullah memberikan analisa terkait pertumbuhan ekonomi di era Presiden Prabowo Subianto bisa tinggi dan berkualitas. 

SURYAMALANG.COM | JAKARTA -  Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Sumber Daya, Said Abdullah mengungkapkan sejak 2013 hingga 2024 pertumbuhan ekonomi Indonesia berkutat di level 5 persenan.

Angka pertumbuhan ekonomi itu dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Ketua Badan Anggaran DPR RI itu juga mengatakan begitu pula data terbaru BPS 3024 menunjukkan pertumbuhan ekonomi 5,03 persen. 

Dengan pertumbuhan ekonomi 5 persenan ini, menurut Said, belum menjadi pijakan memadai menuju high income country pada 2045.

Presiden Prabowo Subianto menargetkan perekonomian nasional bisa tumbuh mencapai 8 persen di masa pemerintahannya. 

Mungkinkah hal itu tercapai?  

Said Abdullah mengungkapkan tentu saja target Presiden Prabowo tercapai.

Namun, harus disertai dengan sejumlah perbaikan di sektor strategis.

"Di sisi lain, kita juga perlu memberi pertimbangan kepada Presiden Prabowo, bahwa agenda pertumbuhan tinggi hendaknya menyertakan seluruh rakyat untuk menikmati kue ekonomi," papar Said Abdullah kepada SURYAMALANG.COM melalui keterangan tertulis, Kamis (6/2/2025). 

Said Abdullah berhadap tidak ada rakyat yang tertinggal dalam pembangunan.

Dengan demikian, kata Said, ada dua hal pekerjaan rumah pemerintah di era Presiden Prabowo Subianto

Menurut Said Abdullah, hal pertama adalah keluar dari jebakan pertumbuhan lima persenan. 

Hal kedua, beber politisi asal Sumenep Madura itu, mengoreksi pertumbuhan ekonomi dengan model rembesan ke bawah (trickle down effect).

Model trickle down effect) ini diperkenalkan oleh Albert Hirschman lalu dijalankan oleh Presiden Ronald Reagen di Amerika Serikat (AS). 

"Sejak oleh orde baru hingga kini kebijakan ini terus kita jalankan," tutur Said Abdullah.

Ia menjelaskan model kebijakan ekonomi yang memberikan insentif ekonomi bagi kalangan atas, oleh Hirschman diyakini akan memberikan spillover effect positif. 

Asumsi ini mengandaikan, bila perekonomian kelas atas tumbuh karena berbagai kemudahan akan membuka lapangan kerja baru.

Namun, menurut Said, pilihan kebijakan seperti ini menyisakan masalah.

Sebab laju pertumbuhan ekonomi kelas atas yang mendapat insentif jauh lebih besar dibandingkan golongan menengah bawah. 

Menengah bawah hanya menerima rembesan ekonomi yang terbatas.

Ia menyebut angka statistik membuktikan angka rasio gini Indonesia tergolong tinggi dengan menjalankan model kebijakan trickle down effect.

Rasio gini di akhir orde baru mencapai 0.33, dan kritikus ekonomi saat itu sudah membunyikan suara kesenjangan sosial di masyarakat tinggi. 

"Pasca-orde baru hingga kini, rasio gini tidak pernah turun di bawah 0.33. Bahkan pernah mencapai 0.437 di tahun 2013," beber Said Abdullah

Ia mengatakan sepuluh tahun terakhir rasio gini di Indonesia di rentang 0,38 hingga 0,40.

"Artinya kesenjangan sosial masih tinggi," katanya.

Said menambahkan pembuktian kedua, bisa menggunakan analisa Thomas Piketty.

Analisa Thomas Piketty itu tentang ketidaksetaraan terjadi bila kekayaan privat berkembang lebih cepat dari pendapatan nasional. 

Data credit Suisse, 2022 menunjukkan 66,8 persen penduduk Indonesia dewasa memiliki kekayaan di bawah 10 ribu USD.

Rinciannya, kelompok sebesar 2 persen penduduk, dengan kekayaan antara 100 ribu sampai 1 juta USD.

Sedangkan sebanyak 0,1 persen penduduk dewasa dengan kekayaan di atas 1 juta USD. 

"Rasio gini kekayaan makin senjang, mencapai skor 0,78," tukasnya.

Pertumbuhan Inklusif

Said mengapresiasi berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Presiden Prabowo dalam mengonsolidasikan berbagai sumber anggaran pembangunan.

Agar pertumbuhan ekonomi bisa melampaui target APBN 2025 sebesar 5,2 persen.

Lebih dari itu, pertumbuhan ekonominya agar lebih inklusif. 

Terbaru melalui instruksi presiden, pemerintah melakukan langkah efisiensi belanja negara.

Dengan demikian, APBN diharapkan lebih fokus untuk membiayai program-program strategis.

"Seperti perbaikan gizi anak, kesehatan, pendidikan, kemandirian pangan, dan energi," sebutnya.

Dengan program gizi dan pendidikan yang baik, menurut Said, permintaan tenaga kerja sehat dan terdidik di pasar tenaga kerja bisa dipenuhi. 

Tentu ini bukan program sekali jadi, akan tetapi harus berkelanjutan.

Bila dijalankan secara massif dan sistematis, maka outcome-nya untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas bisa diharapkan lebih cepat.

"Menyelam, sambil minum susu, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hendaknya bisa dijalankan lebih inklusif," saranSaid. 

Ia mengatakan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dapat mengorganisir para pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di tiap tiap wilayah. 

Dengan standar produk dan layanan yang telah ditetapkan, para pegiat UMKM dapat menjadi pemasok MBG. 

"Langkah ini bisa menjadi penggerak kebangkitan UMK yang berjumlah lebih dari 65 juta, serta mendongkrak daya beli menengah bawah yang terus menurun sejak pascapandemi," ujarnya.

Sementara pada sektor hulu, kata Said, Program MBG dapat mendorong permintaan kebutuhan bahan makanan. 

Dengan demikian Bapanas juga bisa bersinergi dengan pemerintah daerah dan desa untuk menata rantai pasoknya di tiap wilayah. 

Menurutnya, permintaan berskala besar ini akan memberi nyawa rangkap bagi para petani dan peternak lokal. 

Ia mengatakan dari sisi subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR), pemerintah bisa fokus pada petani, peternak dan UMKM yang menopang Program MBG ini. 

"Program MBG juga bisa menjadi pijakan awal kita memulai kemandirian pangan nasional," katanya optimistis.

Selain itu, jika langkah besar ini bisa organisir secara baik, dengan sendirinya akan mengurangi alokasi subsidi program bantuan sosial, yang alokasinya besar dalam 10 tahun terakhir.

Namun,subsidi bantuan sosial itu tidak membawa dampak pemberdayaan, dan malah menjelma menjadi alat politik.

"Di luar APBN, tampaknya Presiden Prabowo juga mendorong konsolidasi Badan Usah Milik Negara (BUMN). Salah satunya pembentukan super holding Danantara," uar Said. 

Ia menyebutkan Danantara bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.

Sebab dengan capital expenditure (capex) yang besar dari Danantara, lebih memungkinkan mengelola arah investasi strategis, setidaknya untuk membangkitkan industri nasional. 

"Dua kata kunci dari Danantara; investasi dan industrialisasi yang terarah," ujarnya. 

Langkah ini bisa menjadi tonggak penting bagi perluasan program hilirisasi yang dikelola langsung oleh BUMN.

Namun sasarannya harus fokus, yakni pengelolaan sumber daya alam menjadi barang industri yang menjadi rantai pasok global.

"Saya berkeyakinan, jika dua pilar APBN dan BUMN programnya dapat teroganisasi dengan baik, maka kita bisa meraih dual hal sekaligus. Yakni pertumbuhan ekonomi tinggi, keluar dari jebakan 5 persenan, dan pertumbuhan ekonomi yang di topang oleh para pelaku ekonomi arus bawah hingga menengah, dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi kita jauh lebih inklusif," pungkas Said Abdullah.

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved