Sastrawan Tengsoe Kisahkan Kehidupannya di Banyuwangi pada Buku Berjudul Jenggirat! di FIB UB Malang

Sastrawan dari Banyuwangi yang tinggal di Kota Malang, Tengsoe Tjahjono menerbitkan karya terbarunya berjudul Jenggirat!.

Penulis: Benni Indo | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM/BENNI INDO
JENGGIRAT - Sastrawan Tengsoe Tjahjono menghadiri kegiatan dialog tentang karya terbarunya berjudul Jenggirat di Gedung B FIB, Universitas Brawijaya, Rabu (26/2/2025). Tengsoe Tjahjono menerbitkan karya terbarunya berjudul Jenggirat!. Karya terbarunya ini berisi kumpulan puisi. Jenggirat! banyak bercerita tentang kampung halamannya yang berada di ujung Pulau Jawa. Tengsoe yang lahir pada 1958 di Jember memiliki banyak kenangan tentang sejarah hidupnya di Banyuwangi. 

Tengsoe menerangkan, ada tulisan lama dari tahun 2008 yang juga menjadi bagian di dalam ratusan puisi yang ia tulis di Jenggirat!.

Judul Jenggirat! ia dapatkan melalui pemikiran yang cukup dalam. 

Tengsoe berpikir untuk menghadirkan Banyuwangi tanpa menulis kata Banyuwangi di bukunya.

Munculah nama jenggirat yang memang ungkapan khas dari Banyuwangi.

 Jenggirat berarti bangkit atau bangun dari keterpurukan.

"Ketika saya memberikan judul antologi ini, apa ya yang bisa merepresentasikan Banyuwangi tanpa memberikan kata Banyuwangi di dalam judul. Maka munculah nama jenggirat itu. Jenggirat ini artinya bangkit atau bangun. Kenapa jenggirat, tentu saja bagi saya teks budaya Banyuwangi banyak yang baik, tapi juga ada yang direvisi agar cocck dengan perkembangan zaman dan menjawab tantangan zaman. Tapi tentu saja nilai-nilai tradisi tidak bisa menghapus begitu saja," katanya.

Tradisi dan kebudayaan Banyuwangi sudah melekat pada diri Tengsoe. Wajar saja karena sejak kecil, ia telah belajar budaya Banyuwangi.

Dikisahkan oleh Tengsoe, sekurang-kurangnya ia bisa menari sejak sekolah dasar.

Pasalnya, menari telah menjadi bahan ajar wajib pada saat itu. Pun menyanyikan sebuah lagu juga ia lakukan.

"Saya pernah menjadi pelajar di Banyuwangi. Itu sekurang-kurangnya harus bisa menari satu tarian. Waktu itu tarian padang bulan. Senam pagi diganti tarian padang bulan, sehingga setiap pagi saya menari. Sekurang-kurangnya bisa menyanyi satu lagu juga. Ketika saya SPG, minta tandatangan guru nyanyi dulu. Saya pikir peran pemerintah daerah itu sangat besar untuk ikut mengembangkan budayanya masing-masing," paparnya.

Pada puisi-puisi yang ia tulis, terdapat banyak catatan kaki.

Di situ ada keterangan yang menjelaskan tempat atau istilah asing bagi pembaca.

Semuanya masih berkaitan dengan Banyuwangi.

Tengsoe seolah tak ingin pembacanya bingung mengenal nama atau istilah baru yang berkaitan dengan Banyuwangi.

Joko Saryono, guru besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang memiliki catatan terhadap karya Tengsoe.

Halaman
1234
Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved