KUHAP Maret 2025 Harus Terintegrasi, Begini Kata Dekan FH Universitas Widya Gama Malang

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) versi Maret 2025 kembali menuai sorotan dari kalangan akademisi dan pakar hukum.

Penulis: Purwanto | Editor: Eko Darmoko
IST
Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya Gama (UWG) Malang, Dr Ibnu Subarkah SH MHum. 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) versi Maret 2025 kembali menuai sorotan dari kalangan akademisi dan pakar hukum.

Pembahasan RUU KUHAP belum sepenuhnya mencerminkan sistem peradilan pidana yang utuh dan terintegrasi.

Hal tersebut mendapat sorotan Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya Gama (UWG) Malang, Dr Ibnu Subarkah SH MHum.

Dalam keterangannya, Dr Ibnu mengatakan bahwa RUU KUHAP tidak cukup hanya membahas kewenangan dan tugas kepolisian, melainkan harus menghadirkan porsi yang seimbang bagi institusi penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan dan badan peradilan umum.

Menurutnya, hukum acara pidana adalah proses yang bersifat menyeluruh, bukan kerja partial dari satu lembaga saja.

“Persoalan besar dalam penegakan hukum bukan hanya terletak pada proses penyidikan oleh kepolisian. Namun harus dilihat secara sistemik, dari mulai penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri,” tegas Dr Ibnu kepada SURYAMALANG.COM, Jumat (9/5/2025).

Ibnu menambahkan sebagai tujuan akhir dari hukum pidana adalah sesuatu yang mahal karena seluruh aktor dalam sistem peradilan pidana harus memikul tanggung jawab bersama.

Tidak adil jika beban seolah-olah hanya ditimpakan kepada kepolisian.

“Polisi seringkali berada di ‘garis panas’, berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan, mengejar DPO, mengungkap kasus," jelasnya.

"Tapi ketika perkara sampai di pengadilan, hasil kerja keras itu bisa saja sia-sia karena tersangka dibebaskan. Ini menunjukkan bahwa sistem belum berjalan secara integrated,” tambahnya.

Pihaknya menyoroti pentingnya keterlibatan kejaksaan dan peradilan dalam proses pembahasan KUHAP.

Sebab pembahasan yang dominan menyasar kepolisian justru bisa menjadi beban norma dan membuka peluang terjadinya pengerdilan makna sistem peradilan pidana.

“Kejaksaan dan kehakiman juga harus duduk bersama dalam pembahasan KUHAP, jangan sampai muncul norma yang berat sebelah," terangnya.

"Kita lihat, bahkan sekarang muncul rancangan KUHAP Kejaksaan yang berdiri sendiri. Ini justru mengindikasikan lemahnya koordinasi lintas lembaga dalam merumuskan sistem hukum yang seharusnya holistik,” katanya.

Dalam konteks pelaksanaan hukum, Dr. Ibnu juga menyoroti asas oportunitas yang dimiliki oleh kejaksaan, di mana jaksa memiliki kewenangan untuk tidak menuntut perkara tertentu.

Halaman
12
Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved