Dekan FH UB Malang Tentang RKUHAP : Judicial Scrutiny Bisa Jadi Kunci Pengawasan Proses Pidana

Aan Eko Widiarto menekankan pentingnya penerapan prinsip judicial scrutiny atau pengawasan pengadilan dalam seluruh proses peradilan pidana. 

Penulis: Benni Indo | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM/BENNI INDO
DEKAN FH UB - Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Aan Eko Widiarto saat wawancara, Jumat (16/5/2025), Aan menyatakan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus dilihat secara objektif dari sisi akademik dan ilmu hukum, terlepas dari kepentingan institusional seperti kepolisian dan kejaksaan, Jumat (16/5/2025). 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Aan Eko Widiarto, menyatakan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus dilihat secara objektif dari sisi akademik dan ilmu hukum, terlepas dari kepentingan institusional seperti kepolisian dan kejaksaan.

Aan menekankan pentingnya penerapan prinsip judicial scrutiny atau pengawasan pengadilan dalam seluruh proses peradilan pidana. 

“Pertanyaan tentang RKUHAP ini banyak sekali. Kami ingin melihat secara akademik bagaimana memposisikan perubahan KUHAP dalam konteks keilmuan hukum pidana dan acara pidana. Kami ingin posisi kampus adalah di tengah, bukan berpihak ke institusi mana pun,” ujarnya saat diwawancarai, Jumat (16/5/2025).

Menurutnya, setiap kewenangan aparat penegak hukum, baik polisi maupun jaksa, harus berada dalam kontrol lembaga peradilan untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM).

“Apapun nanti wewenang polisi atau jaksa, itu harus bisa dikontrol oleh pengadilan karena ini menyangkut hak-hak dasar masyarakat. Hak untuk bebas, hak untuk tidak disangka tanpa bukti yang cukup. Itu semua harus dijaga,” tegasnya.

Ia juga mengkritisi terbatasnya kewenangan lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, dan Komjak dalam Sistem Peradilan Pidana.

Lembaga-lembaga itu hanya bisa masuk kalau sudah ada dampak.

"Padahal yang dimaksud adalah pengawasan  melekat sejak tahap penyelidikan hingga persidangan,” katanya.

Terkait banyaknya masukan dalam penyusunan RKUHAP, Aan menilai partisipasi publik merupakan langkah positif.

Namun, ia mengingatkan agar usulan-usulan tersebut tetap diuji secara akademik, terutama soal potensi praktik transaksional dalam penanganan kasus korupsi.

“Ada masukan agar jika kerugian negara dikembalikan, perkara bisa dihentikan. Tapi itu berpotensi membuka ruang deal antara jaksa dan terdakwa. Ini berbahaya. Korupsi bukan perkara biasa, melainkan kejahatan luar biasa. Korbannya seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Menurut Aan, pendekatan restoratif justice tidak seharusnya diterapkan dalam perkara korupsi. Kalau pencurian atau pembunuhan mungkin bisa, karena korbannya jelas. 

"Tapi korupsi, yang memaafkan siapa? Rakyat se-Indonesia? Ini menyangkut dana publik yang semestinya digunakan untuk pembangunan,” katanya.

Menutup pernyataannya, Aan menggarisbawahi bahwa kampus harus terus mengawal penyusunan RKUHAP melalui pendekatan akademik dan konstitusional.

Kepolisian, kejaksaan, semuanya punya kewenangan masing-masing yang dijamin konstitusi. 

"Tapi semuanya harus bisa diawasi agar tidak sewenang-wenang,” pungkasnya. (Benni Indo)

 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved