SURYAMALANG.COM, BOJONEGORO - Raut wajahnya terlihat lelah. Tatapan matanya kosong.
Terkadang, dia terlihat melamun. Seolah dalam otak bocah itu penuh beban kehidupan.
Dua pekan ini, dia meninggalkan bangku sekolah demi menjaga sang ayah menjalani perawatan di RSUD Dr Sosodoro Djatikusumo karena penyakit paru-paru.
Bocah itu adalah Puguh Praminto (12), siswa kelas 6 SD Plesungan. Sudah delapan tahun ini, Puguh hidup bersama ayahnya, Muawas (64). Ibu kandung tercintanya telah meninggalkannya sejak umur empat tahun karena sakit.
Di sela menjaga ayahnya, Sabtu (1/8), di parkiran RSUD itu, Puguh mengamati seorang siswa tingkat sekolah dasar memasuki halaman rumah sakit sembari menuntun sepeda kayuh.
Dia terdiam sembari matanya terus mengamati siswa itu yang masih lengkap mengenakan seragam batik sekolah.
“Kamu mengapa diam, Puguh?” tanya wartawan SURYA kala itu di sela mewawancarai kehidupannya selama menjaga ayahnya sakit.
“Tidak apa-apa. Kangen teman-teman,” katanya sembari menggerakkan kepala sambil menunduk.
Matanya terlihat memerah, seperti mata anak yang akan menangis. Namun, dia menahannya.
Dia mencoba menegarkan diri. Tak lama kemudian, dia mengamati lagi siswa yang baru saja memasuki pelataran rumah sakit milik Pemerintah Bojonegoro itu.
Meski tak masuk sekolah, Puguh sudah mengajukan izin tidak masuk kepada gurunya. Seorang gurunya pun telah menjenguk ayah Puguh di rumah sakit.
"Kata guru saya, nanti saya mengikuti les belajar untuk mengejar pelajaran," ujarnya.
Selama menjaga ayahnya, Puguh belum pernah pulang ke rumah kontrakan. Dia setia menjaga ayahnya. Di kamar khusus pasien penyakit paru-paru itu, bocah ngefans kepada bintang sepak bola Cristiano Ronaldo itu merawat ayahnya, mengantarkannya ke kamar mandi dan membantu menggantikan pakaian.
Aktifitas itu dilakukannya setiap hari hingga dia kurang tidur. Rata-rata, dia tidur pukul 00.30 dan bangun lagi pukul 06.00. padahal, ukuran lama tidur delapan jam sehari. Namun, selama berbincang dengan Surya selama beberapa jam, Puguh tak pernah mengeluarkan ucapan mengeluh.
Semua kesenangan yang didapatkan di kampung, tempat rumah kontrakan, dua pekan itu seperti hilang. Aktifitasnya bermain sepakbola, permainan sembunyi-sembunyian, dan main permainan online setiap hari ditanggalkan semua untuk sementara.
Puguh dan Muawas mengontrak rumah di Desa Kedaton, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro. Buawas berasal dari Ponorogo, sedangkan istrinya (alm) berasal dari Tulungagung. Di Bojonegoro, tak ada satupun sanak saudara.
Muawas menjalani perawatan di rumah sakit karena kena penyakit paru-paru yang sudah diidapnya bertahun-tahun. Awalnya, tukang becak yang bisa mangkal di depan kantor koramil Kecamatan Kapas itu menolak dirawat di rumah sakit. Dia takut tak bisa merawat anaknya yang sedang sekolah.
Namun, pada saat mencari kayu bakar di sebelah desanya-Desa Kapas, Kecamatan Kapas-untuk memasak nasi dan lauk pauk dua pekan lalu, nafas mantan pemain ludruk itu tersenggal-senggal. Seorang perempuan bernama Rini melihat Muawas lewat di depan rumahnya dengan nafas tersenggal-senggal.
Rini mendekati dan menyarankan tukang becak itu supaya berobat ke rumah sakit, tapi ditolak oleh Muawas. Penolakan Muawas bukan semata-mata menolak, tapi karena dia tak memiliki biaya untuk berobat.
Meski sudah menjadi warga Bojonegoro dan ekonominya di bawah garis kemiskinan, Muawas tak pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah, termasuk jaminan kesehatan masyarakat atau jaminan kesehatan daerah, kecuali jatah beras miskin (raskin) dari pemerintah.
“Saya bilang ke bu Rini, saya tidak ada uang bu. Saya sudah berobat ke puskesmas,” kata Muawas kala itu.
Namun, Rini menyakinkan kepada Muawas, bahwa, penyakitnya itu harus diobati di rumah sakit. Rini pun minta Muawas memberikan kartu keluarga dan KTP untuk syarat mengajukan pengobatan gratis ke RSUD Sosodoro Djatikusumo.
“Karena ditolong Bu Rini (menguruskan permohonan biaya pengobatan) saya mau. Dan waktu itu, bersamaan dengan anak saya libur sekolah,” ujarnya. (*)