Sampai pukul 00.00 WITA tak ada kabar. Lina meminta bantuan teman-temannya untuk mencari suami di rumah sakit sambil membawa foto, namun tetap tak ketemu.
Tanggal 13 Oktober, satu hari pasca ledakan Lina pun disarankan tetangga dan keluarga mendatangi orang dengan kemampuan spiritual. Di sana dia mendapatkan jawaban, suaminya berada di dalam kantong kresek besar bersama korban Sari Club lainnya tanpa kepala dan tubuhnya hangus terbakar.
"Saat kami cari, ternyata betul. Kepalanya sudah tak ada, tinggal tubuhnya dari leher sampai kaki yang lengkap namun dalam kondisi terpanggang. Kami sempat kesulitan mengidentifikasi jenazah karena sebagian tubuh terbakar, tapi kami beruntung menemukan identitas korban di celana belakang, disana saya yakin dia suami saya meski saat itu KTPnya sudah berbentuk serpihan," terang Lina.
Kenyataan pahit itu membuat Lina syok, dia pun putus asa dan sedih. Lina mengaku bahkan tak mau memberikan asi kepada bayinya yang baru berusia 2 bulan. Jangankan menyusui menggendong pun Lina tak kuat.
Dia hanya menitihkan air mata dan belum bisa percaya.
Dua Anak Terpukul
Lina mengaku bukan dia saja satu-satunya yang masih mengalami trauma atas kejadian itu. Dua anaknya yang kini sudah tumbuh dewasa pun mengalami trauma yang sama.
Uring-uringan, merasa ingin diberikan perhatian lebih, hingga merindukan sosok ayah.
"Saya menyadari jika saya tidak bangkit dan berjuang melanjutkan hidup, bagaimana nasib anak-anak saya nanti," kata Lina berpikir saat itu, setelah sempat trauma berat hingga tak mau bersolek hingga tahun 2005.
Sampai saat ini pun Lina sering membawa anak-anaknya mengunjungi psikolog untuk konsultasi. Ini pun membuktikan bagaimana orang-orang tidak berdosa pun menerima akibat dari bom tak bertanggung jawab itu.
Lina bangkit, dan menjadi seorang pengajar di sekolah taman anak-anak (TK) hingga saat ini. Dari sana dia menghidupi dua anaknya yang terus tumbuh dewasa.
Pemerintah Kurang Peduli
Lina mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah Bali maupun Indonesia. Jika ada pun itu tak berlaku lama.
"Ada itu LPSK dari pemerintah cuma berjalan dua kali perjanjian saja setelah itu tak ada lagi kabarnya. Sudah 16 tahun saya pun belum merasakan bantuan pemerintah. Bukan hanya saya, ada puluhan teman-teman lain juga yang punya nasib sama sementara kami sendiri para perempuan belum bisa bekerja," katanya mengeluhkan perhatian pemerintah Bali dan Indonesia yang kurang tanggap.
Lina mengaku dia hanya mendapatkan bantuan yang dihimpun dari sukarela para turis asing. Misalnya Yayasan Bali Hati, dia mendapatkan Rp 600 per bulan selama tiga sampai lima bulan saja. Dan bantuan dari YKIP untuk biaya sekolah anak-anak gratis TK dan SD.