Pekerjaan dan karier cerah, materi cukup, serta sudah berkeluarga dengan seorang istri (Jeane Augusta Lengkong) dan seorang putra (Yohanes Yoso Nicodemus).
Segala pencapaian ini terus disyukurinya mengingat jalan hidupnya yang penuh onak dan duri.
4. Hidup Susah di Ibukota
Pada usia belasan, ia juga pernah menjadi kondektur bemo. Tapi sekolahnya tidak pernah berhenti, hingga tamat dari SMA Negeri 1 pada 1977 dengan prestasi lima besar.
Beberapa bulan setelah tamat sekolah, Gempar merantau ke Jakarta dan tinggal dengan keluarga pihak ibunya.
Namun ia maklum, jika perlakuan keluarga-keluarga itu juga tidak ramah kepadanya.
Ia sering diperlakukan kasar sehingga harus terusir dan berpindah-pindah rumah. Bahkan pernah ikut di rumah seorang pedagang buah di daerah Gandaria, Jakarta Selatan.
Hidup Gempar baru benar-benar mapan setelah bekerja sebagai tukang ketik di kantor notaris Frederik Alexander Tumbuan, masih di sekitar daerah Gandaria.
Tahun 1985 ia malah bisa berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
4. Cinta yang tak Direstui
Cerita tentang sang ayah didapat dari Jetje sebelum akhirnya meninggal pada November 2004.
Dalam ingatan Jetje, Soekarno mulai mengenalnya ketika berkunjung ke Manado tahun 1953. Sejak itu keduanya menjalin hubungan melalui surat atau telegram, serta sesekali bertemu jika kebetulan Presiden berkunjung ke Manado.
Tapi orangtua Jetje tidak merestui niat Soekarno untuk menikahi putri mereka.
Maka begitu lulus dari sekolah SGA Roma Katolik Manado, Jetje dinikahkan dengan Leo Nico Christofel, anggota TNI berpangkat Letnan Satu.
Meski sudah dikarunia dua anak, akhir 1955, Jetje dan Leo bercerai. Hubungan dengan Soekarno berlanjut kembali hingga akhirnya keduanya menikah secara Islam tahun 1957 di Manado.