SURYAMALANG.COM, KLOJEN - "Mohon maaf, di KTP saya yang dulu dicantumkan Katolik, tapi saya tidak pernah ke Gereja karena saya adalah penghayat. Jadi saya ibadahnya ke penghayat kepercayaan. Kalau begitu sama saja munafik ke diri sendiri dan munafik ke Gusti Allah."
Demikian ungkapan Mohammad Djayusman, Ketua Persatuan Warga Sapta Darma Jawa Timur.
Warga Jalan Brigjen Slamet Riadi, Kelurahan Oro-oro Dowo Kecamatan Klojen, Kota Malang itu juga jadi dosen di Universitas Negeri Malang (UM).
Dia mengajarkan mata kuliah karakter pendidikan penghayat kepercayaan.
"Saya diminta untuk mengajar di sana (UM). Kami bersyukur, kini layanan pendidikan sudah terlayani dengan baik bagi warga penghayat. Mulai dari SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi," tandasnya.
Kini, Mohammad Djayusman sudah mengganti kolom kepercayaan di KTP-nya menjadi 'Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa'.
Menurutnya, mengganti kolom kepercayaan di KTP itu penting, selain untuk identitasnya pribadi, juga menjadi bukti pengakuan negara terhadap para penghayat kepercayaan, setelah selalu bersembunyi di bawah agama resmi pemerintah.
Meskipun demikian, dari 4.000 warga penghayat kepercayaan di Malang Raya, sekitar 70 persen warga yang belum mengganti kolom KTP mereka.
"Jadi, bisa dikatakan mereka ini masih bingung atau serba salah. Tapi Dispendukcapil juga sudah memberikan imbauan kepada kami, bahwa nantinya penggantian KTP itu bisa dilakukan secara kolektif atau bersamaan," ujarnya.
Kata Djayusman, kini ia bersyukur bahwa penghayat kepercayaan ini bisa diakui oleh pemerintah sehingga berbagai macam layanan sudah bisa diakses tanpa adanya diskriminasi.
Sementara, Andik Heru Darpito dari Komunitas Kerohanian Sapta Darma Kota Malang mengaku, hingga kini dirinya belum mengubah kolom kepercayaan di KTP-nya.
Meskipun demikian, ia sudah berencana mengubah kolom agama di KTP itu secara kolektif atau bersama-sama dengan warga yang lain.
"Kalau dari saya pribadi memang belum merubahnya. Tapi, dengan warga Kerohanian Sapta Darma yang lain sudah berinisiatif untuk merubahnya tinggal menunggu waktu yang tepat saja," ucap warga Perumahan Sawojajar, Jalan Danau Kerinci Kota Malang ini.
Lazim diketahui, Sapta Darma hanya salah satu dari begitu banyak aliran kerohanian di Indonesia.
Para penghayatnya percaya, aliran ini bermula dari turunnya wahyu kepada tukang cukur bernama Hardjosapoero pada Jumat Wage dini hari, 27 Desember 1952 di kediamannya, Desa Koplakan Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.