Pendidik dan penulis Belanda keturunan Suriname Gloria Wekker, dalam bukunya “White Innocence,” menganalisis pemikiran kolonial Belanda sebagai pemisahan berdasarkan ras yang menghasilkan kebudayaan orang kulit putih Belanda yang buta terhadap begitu banyak bentuk rasisme saat ini.
Rasisme Belanda terlihat jelas dalam fakta bahwa negara ini memiliki catatan terburuk dalam kesempatan kerja bagi orang kulit berwarna di Eropa selain Swedia.
Dalam contoh lain, partai politik terbesar kedua, Partai untuk Kebebasan, menempatkan iklan kampanye dalam bahasa Belanda dan Inggris yang mendehumanisasi para muslim di negara itu.
Iklan tersebut menyatakan bahwa agama Islam sama dengan “diskriminasi,” “ketidakadilan” dan “pembunuhan atas nama kehormatan,” di antara sebutan-sebutan yang lain.
Seorang legislator memperingatkan tentang bahaya pencampuran darah Belanda dan non-Belanda. Baru tahun lalu, orang Belanda keturunan Suriname-dan Antillean dilarang menghadiri peringatan 4 Mei jika mereka berbicara secara terbuka tentang sejarah perbudakan Belanda di koloni-koloni perbudakan Belanda.
Bukti kolonialisme dan perbudakan Belanda yang paling dikenal luas hadir setiap tahun dalam bentuk “Piet Hitam,” karikatur para pembantu berkulit hitam Sinterklaas pada tradisi paling penting bangsa ini.
Berbagi memori
Elizabeth Eckford, salah satu siswa Afrika-Amerika pertama di sekolah yang telah dipisahkan, mengatakan “rekonsiliasi sejati hanya dapat terjadi ketika kita dengan jujur mengakui masa lalu yang menyakitkan milik bersama.”
Di Belanda, pesan ini tercermin dalam suara para pengunjuk rasa “Tiada 4 Mei Untuk Saya”, yang ingin orang mati dihitung tetapi menemukan sebuah kebudayaan yang buta terhadap kesalahannya sendiri dan tidak mau menciptakan memori bersama.
Membangun memori bersama bisa dimulai hari ini, dengan pengakuan Belanda tentang Hari Kemerdekaan Indonesia dan peringatan korban perang Indonesia. The Conversation