“Token listrik itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tanpa ada PMK itu pun pengeluaran listrik rumah tangga sudah naik signifikan karena ada kebijakan work from home (WFH),” ujar dia, Jumat (29/1).
Begitu pula dengan pulsa yang saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama pelajar yang harus menjalani sekolah secara daring. Pengeluaran pulsa di suatu keluarga dipastikan membengkak saat masa pandemi, apalagi jika anggota keluarga tersebut berjumlah banyak.
Pengawasan terhadap pungutan pajak pulsa dan kartu perdana juga masih menjadi pertanyaan. Pasalnya, penjualan pulsa atau kartu perdana dilakukan secara berjenjang, mulai dari produsen atau penyedia awal pulsa dan kartu perdana, kemudian distributor tingkat satu dan seterusnya, hingga ke penjual eceran dan konsumen akhir.
“Ketika pajak diberlakukan, konsumen akhir yang akhirnya menanggung semua,” imbuh Sularsih.
Dia menilai, pemerintah harus melakukan pertimbangan yang matang sebelum benar-benar memberlakukan PMK tersebut. Jika jadi diterapkan per 1 Februari mendatang, hal itu tentu akan sangat memberatkan bagi masyarakat di tengah kondisi daya beli yang belum pulih akibat dampak pandemi Covid-19.
“Sekalipun negara dalam kondisi kurang dana dan pemasukan pajak minim, kalau ini dilaksanakan rasanya kurang tepat,” tandas dia.
Ditjen Pajak pastikan PPN dan PPh atas pulsa & token tak pengaruhi harga di konsumen
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan peraturan tentang penghitungan dan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) terkait dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Beleid ini terangkum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no. 6/PMK.03/2021, dan akan mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2021.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama memastikan ketentuan ini tidak memengaruhi harga pulsa/kartu perdana, token listrik, maupun voucer. "Perlu ditegaskan bahwa pengenaan pajak (PPN dan PPh) atas penyerahan pulsa/kartu perdana/token listrik/voucer sudah berlaku selama ini, sehingga tidak terdapat jenis dan objek pajak baru," ujar Hestu dalam keterangan, Jumat (29/1).
• Ayahnya Baru Dilantik Jadi Kapolri, 3 Anak Listyo Sigit Prabowo Jadi Sorotan
Hestu lalu menegaskan beberapa hal pokok terkait pemungutan pajak berdasarkan ketentuan baru tersebut. Pertama, terkait pulsa dan kartu perdana. Pemungutan PPN hanya sampai distributor tingkat II (server), sehingga untuk rantai distribusi selanjutnya seperti dari pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi.
Distributor pulsa juga dapat menggunakan struk tanda terima pembayaran sebagai Faktur Pajak sehingga tidak perlu membuat lagi Faktur Pajak secara elektronik (eFaktur).
Kedua, terkait token listrik. PPN dikenakan hanya atas jasa penjualan/pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token, dan bukan atas nilai token listriknya.
Ketiga, terkait voucer, PPN hanya dikenakan atas jasa pemasaran voucer berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucer, bukan atas nilai voucer itu sendiri. "Hal ini disebabkan voucer diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang memang tidak terutang PPN," tambah Hestu.
Di sisi lain, pemungutan PPh Pasal 22 untuk pembelian pulsa/kartu perdana oleh distributor, dan PPh Pasal 23 untuk jasa pemasaran/penjualan token listrik dan voucer, merupakan pajak yang dipotong di muka dan tidak bersifat final. Nah, atas pajak yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan oleh distributor pulsa atau agen penjualan token listrik dan voucer dalam SPT Tahunan.
Tanggapan Indosat dan XL Axiata