"Sebagai pembanding, dalam peristiwa di tempat yang sama (Stadion Kanjuruhan) pada April 2018, ada gas air mata tetapi yang meninggal hanya satu orang, itu pun karena alami sesak nafas," tandasnya.
Autopsi kepada korban juga pernah diutarakan oleh Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris, yang kini ditetapkan sebagai tersangka Tragedi Stadion Kanjuruhan.
Menurut Abdul Haris, gas air mata yang ditembakan polisi saat kericuhan tahun 2018 lalu ketika Arema melawan Persib Bandung, berbeda dengan gas air mata yang ditembakan usai pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya.
"Saat tanggal 1 Oktober kemarin, saya masuk ke dalam lapangan dengan mata perih dan sesak napas."
"Saya masuk ke dalam di situ sudah banyak adik-adik kita, saudara-saudara kita bergeletakan."
"Mereka saya lihat ada yang lebam mukanya, mukanya membiru, tidak bisa napas."
"Ada yang sekarat dan saya pegang kakinya dan lehernya, sudah meninggal," kata Abdul Haris, Jumat (7/10/2022).
Untuk itu pihaknya memohon agar soal gas air mata yang ditembakan pihak kepolisian benar-benar dibuka seterang-terangnya.
Bahkan ia juga meminta agar korban meninggal di-autopsi untuk mengetahui apa penyebab kematian mereka.
"Tolong diperiksa itu gas air mata yang seperti apa."
"Karena gas air mata yang saya rasakan saat tanggal 1 itu tidak sama ketika kejadian gas air mata tahun 2018."
"Saat 2018 Aremania bergeletakan masih bisa dikasih kipas dikasih air bisa tertolong."
"Ini sudah tidak bisa apa apa. Korbannya saya lihat mukanya biru biru semua," ujarnya.
"Saya juga minta ini di-autopsi agar diketahui ini meninggal karena apa, apakah meninggal karena berhimpitan atau karena gas air mata."
"Tolong yang punya kewenangan, tolong ini diusut. Saya mohon, kenapa itu harus terjadi."