Sejumlah pedagang mengaku, kenaikan harga makanan favorit warga itu mulai terasa sebelum Lebaran Idul Fitri 2025.
Meski demikian, para produsen tempe mengaku sulit menaikkan harga karena khawatir kehilangan pembeli.
Sebagai gantinya, mereka memperkecil ukuran tempe.
“Kenaikan ini sejak sebelum lebaran Idul Fitri 2025 atau awal puasa. Dulu harga kedelai Rp 9.100 per kilogram dan terus naik hingga sekarang Rp 9.950 per kilogram,” terang Dice Saputro, salah satu perajin tempe di Sanan, Kota Malang.
Dice mengaku harus mengurangi ketebalan tempe yang ia produksi.
Tempe yang ia produksi semakin menipis seiring tingginya harga.
“Semakin lama, semakin menipis, hampir setengah centi kami kurangi. Ya mau bagaimana lagi, mau menaikkan harga tempe takut pelanggan mengeluh,” tambahnya.
Meski ukuran dikurangi, Dice menekankan bahwa kualitas tempe tetap dijaga.
Selain memperkecil ukuran, di tempat produksinya, jumlah tempe yang dibuat pun ikut dikurangi.
“Awalnya lima kwintal per hari, sekarang hanya empat kwintal,” imbuhnya.
Sementara itu, Mustofa, pedagang tempe lain, juga tetap berjualan meski ukuran tempe dari produsen semakin mengecil.
“Kami tetap jualan tapi ukuran tempe yang semakin mengecil banyak. Pelanggan memang protes, tapi mereka tahu kok kalau harga kedelai naik, jadi tetap dibeli,” ujarnya.
“Di pasar, warga yang biasanya beli Rp50 ribu sekarang cuma dapat Rp30 ribu,” tambahnya.
Kenaikan harga kedelai yang dipicu kondisi global ini membuat pelaku usaha kecil menyesuaikan strategi agar tetap bisa bertahan.
Para pedagang berharap pemerintah bisa segera mengambil langkah konkrit untuk menstabilkan harga bahan baku pangan tersebut. (Benni Indo)