Penyebab Lonjakan Kasus COVID-19 di Surabaya, Pakar Unair Soroti Varian Nimbus dan Vaksin Lama

Penulis: sulvi sofiana
Editor: Dyan Rekohadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr dr Agung Dwi Wahyu Widodo MSi, pakar Imunologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair),

SURYAMALANG.COM , SURABAYA - Lonjakan kasus COVID-19 yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir kembali memicu kekhawatiran publik. 

Meskipun peningkatan kasus kali ini tidak separah masa puncak pandemi beberapa tahun lalu, para ahli menekankan bahwa masyarakat tetap harus waspada terhadap penyebaran virus, terutama akibat munculnya varian baru yang lebih menular.

Dr dr Agung Dwi Wahyu Widodo MSi, pakar Imunologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), menyatakan bahwa meskipun pandemi telah berlalu sekitar empat tahun lalu, ancaman virus belum sepenuhnya hilang. 

"Kita sudah melewati masa kritis pandemi, tapi bukan berarti COVID-19 lenyap begitu saja. Virus ini terus bermutasi dan varian barunya menunjukkan tingkat penularan yang lebih tinggi, meskipun gejalanya relatif lebih ringan," ungkapnya, Selasa (11/6/2025).

Menurut Agung, lonjakan terbaru ini dipicu oleh kombinasi tiga faktor utama.

Yaitu munculnya varian baru, penurunan kekebalan populasi, serta perubahan perilaku masyarakat pascapandemi. 

Ia menyoroti kemunculan varian NB.1.8.1 yang dikenal sebagai varian Nimbus, hasil mutasi dari Omikron, sebagai salah satu pemicu utama lonjakan kasus. 

“Varian Nimbus memiliki struktur spike yang sangat berbeda dibandingkan varian Omikron sebelumnya, sehingga lebih mudah menghindari sistem kekebalan tubuh,” jelasnya.

Perubahan cuaca yang tak menentu turut memperburuk situasi.

Kondisi musim yang lebih basah dan dingin dianggap memperlemah daya tahan tubuh masyarakat. 

“Kita seharusnya berada di musim panas, tapi kenyataannya hujan dan dingin.Ini membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi. Banyak yang mengira COVID-19 sudah tidak ada, padahal virus ini tetap menyebar dalam diam,” katanya.

Ia juga menyoroti lemahnya sistem deteksi saat ini.

Minimnya pemeriksaan dan pelacakan kasus membuat banyak infeksi COVID-19 tidak terdeteksi secara resmi. 

“Banyak orang yang hanya merasa batuk atau pilek, lalu mengira itu flu biasa. Padahal bisa jadi itu COVID-19. Karena tidak diperiksa, infeksi ini menjadi lubuk penyebaran yang tidak terkendali,” ujarnya.

Terkait efektivitas vaksin, ia menilai bahwa vaksin generasi awal kini sudah tidak cukup ampuh melawan varian baru seperti Nimbus. 

Halaman
12

Berita Terkini