SURYAMALANG.COM, MALANG - Dua dokter dari Universitas Brawijaya (UB) Malang akhirnya pulang dari Tanah Air usai mengemban misi kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina, Selasa (5/8/2025).
Mereka kembali tak hanya membawa pengalaman medis, namun juga membawa cerita dan harapan akan nilai-nilai tentang kemanusiaan.
Dua dokter tersebut adalah Dr dr Mohammad Kuntadi Syamsul Hidayat dan Dr dr Ristiawan Muji Laksono dosen Fakultas Kedokteran UB.
Sejak awal Juli 2025 kemarin, keduanya telah berangkat ke Palestina dengan tim relawan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang berkoordinasi dengan organisasi kemanusiaan Rahmah Worldwide.
Selama bertugas, mereka melayani pasien di Rumah Sakit An Nasr dan Rumah Sakit Eropa yang terletak di Gaza.
Baca juga: Pendataan Pedagang Asongan Terminal Arjosari Malang Sudah Rampung, Terbagi Jadi 2 Waktu Operasional
Dua rumah sakit tersebut merupakan fasilitas medis yang masih berfungsi di tengah kepungan krisis kemanusiaan.
Mereka menyaksikan langsung betapa sulitnya kehidupan masyarakat Gaza.
Dari minimnya pasokan makanan, rusaknya fasilitas kesehatan, hingga trauma yang mengakar dalam masyarakat sipil.
Bagi Dr Kuntadi, pengalaman di Gaza menjadi yang paling emosional sepanjang kariernya sebagai dokter selama hampir 40 tahun.
Ia tak kuasa menahan air mata saat menceritakan seorang balita perempuan bersimbah darah yang terkena peluru.
"Anak-anak kecil tergeletak di lantai, tubuh mereka penuh darah, bernapas tersengal-sengal."
"Tidak ada perawatan memadai, bahkan gizi pun hampir nihil," ujarnya.
Dr Ristiawan menambahkan, bahwa rumah sakit di Gaza terpaksa menerima pasien hingga 250 persen dari kapasitas normal.
Hal itu akibat serangan bom, ruang hemodialisis hancur dan banyak pasien harus dirawat di tenda-tenda darurat, dengan alat dan obat yang sangat terbatas.
"Standar medis yang biasa kami jalankan tidak bisa diterapkan."
"Kami hanya bisa mengandalkan obat-obatan lama, dengan risiko medis yang tinggi."
"Bahkan air bersih pun menjadi barang mewah," ucapnya.
Tidak hanya pasien, para tenaga medis di Gaza pun tak luput dari penderitaan.
Dr Ristiawan mengisahkan seorang dokter spesialis yang pingsan karena tak makan selama dua hari.
Bahkan sebutir permen dibagi bersama menjadi bentuk solidaritas bersama.
"Kami punya satu permen Kopiko. Kami bagi-bagi. Dan mereka menerimanya dengan syukur luar biasa," ungkapnya.
Suara bom dan kepulan asap menjadi latar setiap hari.
Selama dua minggu bertugas, keduanya tidak pernah keluar dari kompleks rumah sakit demi keamanan.
Mengambil foto, membuka ponsel, bahkan menyebut nama organisasi semuanya bisa memicu bahaya.
Setiap gerak-gerik diawasi dan dikawal oleh militer.
Namun di tengah ketegangan itu, mereka melihat ketegaran yang luar biasa.
Menurut Dr Ristiawan, ia sempat melihat warga sipil yang lemah keluar dari lorong-lorong bangunan, meminta makanan di pinggir jalan tanpa agresi.
"Warga Gaza, bahkan dalam kelaparan, tetap bersikap sopan. 'Hungry but not angry,'" katanya.
Saat keberangkatan kemarin, Dr Kuntadi menyampaikan bahwa misi kemanusiaan di Gaza ini merupakan panggilan hatim
Keikutsertaan keduanya juga bukan keputusan mendadak.
Ada niat untuk terjun dalam misi kemanusiaan yang telah tertanam sejak lam.
Bahkan Dr Kuntadi menyetujui tawaran misi kemanusiaan sebelum meminta izin keluarga.
"Takdir kita sudah ditentukan. Kematian sudah tertulis sebelum lahir. Jadi mengapa harus takut?" tandasnya.