"Komposisi pendapatan yang diterima operator kapal idealnya 90–95 persen dari tarif untuk operasional. Sisanya untuk asuransi dan pelabuhan," ungkap dia.
Gapasdap juga mengkritisi sistem penjualan tiket operator pelabuhan yang dianggap merugikan penumpang karena adanya tarif biaya admin dan agen.
"Harga tiket yang dibeli penumpang di lapangan sering lebih mahal, bisa antara Rp 17.000 sampai Rp 19.500 untuk penumpang (jalan kaki). Selisih dari tarif resmi itu karena biaya-biaya di agen atau pihak ketiga," ujarnya.
Bagi Rakhmatika, hal tersebut menjadi ironi bagi pegusaha kapal. Sebab, penumpang harus membayar tiket lebih mahal dari tarif resmi. Namun, pengelola kapal tetap mendapat pembagian tarif yang nilainya rendah.
Gapasdap mendesak pemerintah untuk memberlakukan penyesuaian tarif sesuai keputusan yang ada.
Ia menyebut, Menteri Perhubungan sebenarnya telah mengeluarkan keputusan tarif baru pada 18 Oktober 2024.
Tarif itu rencananya diberlakukan 1 November 2024.
Namun pergantian pemerintahan membuat rencana tersebut ditunda hingga kini.
Tidak ada kepastian kapan keputusan tarif baru akan berlaku.
Menurut Rakhmatika, rendahnya tarif tiket membuat iklim penyebrangan di penghubung Jawa dan Bali tak maksimal.
Kenaikan tarif diyakini akan membuat para pengelola kapal meningkatkan standar keselamatan dan kenyamanan bagi penumpang. (fla)