Kota Malang

Mantan Direktur Polinema Ajukan Eksepsi, Jadi Terdakwa di Sidang Dugaan Korupsi Pengadaan Tanah

Terdakwa Awan Setiawan yang merupakan mantan Direktur Polinema periode 2017 - 2021 membacakan eksepsinya dalam sidang dugaan Korupsi pengadaan tanah

Penulis: Kukuh Kurniawan | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM/ISTIMEWA
EKSEPSI - Terdakwa Awan Setiawan saat menjalani sidang dengan agenda pembacaan eksepsi di PN Tipikor Surabaya pada Kamis (20/11/2025) lalu. Dalam eksepsinya, terdakwa yang merupakan mantan Direktur Polinema periode 2017 - 2021 menyatakan dakwaan JPU kabur dan tidak tepat. 
Ringkasan Berita:
  • Sidang kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema) Tahun Anggaran 2019 - 2020 kembali digelar di PN Tipikor Surabaya, Kamis (20/11/2025).
  • Mantan Direktur Polinema periode 2017 - 2021, Awan Setiawan yang merupakan terdakwa dalam kasus ini membacakan eksepsinya.
  • JPU lewat Kasi Intel Kejari Kota Malang, Agung Tri Radityo mengungkapkan, tetap berpegang teguh pada dakwaan yang telah dibacakan dalam sidang sebelumnya

 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Sidang kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema) Tahun Anggaran 2019 - 2020 kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Surabaya (PN Tipikor Surabaya).

Dalam sidang yang digelar pada Kamis (20/11/2025) lalu, terdakwa Awan Setiawan yang merupakan mantan Direktur Polinema periode 2017 - 2021 membacakan eksepsinya.

Baca juga: UPDATE Perkara Dugaan Korupsi Pengadaan Tanah Polinema, Terdakwa Mantan Direktur Jalani Sidang

Dalam eksepsinya, terdakwa Awan menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kota Malang kabur dan tidak tepat.

Ia meminta majelis hakim untuk menyatakan dakwaan tidak dapat diterima.

Pengacara terdakwa Awan Setiawan, Sumardhan mengatakan, JPU mendasarkan dakwaan pada Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PerLKPP) No 12 Tahun 2018.

Padahal untuk pengadaan tanah, memiliki aturan hukum tersendiri.

"Yaitu, lewat UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah beserta aturan turunan Kementerian ATR/BPN. Pengadaan tanah berbeda dengan pengadaan barang dan jasa, dan dalam prosesnya tunduk pada asas-asas kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, keterbukaan, hingga kesejahteraan," ujar Sumardhan saat dikonfirmasi, Jumat (21/11/2025).

Ia juga menyampaikan, bahwa kliennya yang mengatasnamakan Polinema menggelar musyawarah dengan para pemilik tanah termasuk diantaranya adalah HS yang juga menjadi terdakwa.

Pertemuan resmi itu dilakukan beberapa kali dibuktikan dengan notulen rapat sejak 2019 hingga 2020.

"Namun dalam dakwaan, JPU menerangkan bahwa klien kami melakukan pembelian tanah secara pribadi. Seluruh tindakan klien kami dilakukan untuk dan atas nama Polinema," tambahnya.

Kemudian dalam eksepsinya, juga menyinggung terkait pernyataan JPU yang menyatakan bahwa lahan tanah yang dibeli tidak dapat digunakan.

Karena sebagian bidangnya, berada di dekat sempadan sungai sehingga tidak layak digunakan untuk perluasan kampus.

"Faktanya, obyek tanah yang dibeli dari HS memiliki tiga SHM. Sehingga, itu membuktikan bahwa tanah tersebut bukan bagian dari ruang sungai dan bukan aset negara,"

"Kemudian terkait dakwaan JPU soal tidak adanya appraisal harga tanah, berbanding terbalik dengan Pasal 53 ayat (1) Permen ATR/BPN No 6 Tahun 2015. Dalam pasal itu, menyatakan pengadaan tanah di bawah 5 hektar boleh dilakukan langsung lewat jual beli tanpa memakai jasa appraisal independen," bebernya.

Sementara itu, pihak JPU lewat Kasi Intel Kejari Kota Malang, Agung Tri Radityo mengungkapkan, tetap berpegang teguh pada dakwaan yang telah dibacakan dalam sidang sebelumnya.

"Kami tetap sesuai dakwaan. Kalau tidak (tidak sesuai dakwaan), maka bebas perkara dan kami akan menanggapi eksepsi tersebut dalam sidang selanjutnya pada Kamis (4/12/2025) mendatang," pungkasnya.

 

Kisah Kasus

Seperti diberitakan sebelumnya, kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Polinema Tahun Anggaran 2019-2020 menyeret dua nama. 

Dua terdakwa yaitu mantan Direktur Polinema periode 2017-2021 bernama Awan Setiawan (66) dan HS (59) selaku pihak penjual tanah.

Keduanya diduga bekerjasama dalam transaksi yang merugikan negara hingga Rp 42 miliar.

Diketahui, proses  pengadaan tanah yang dilakukan tidak sesuai prosedur.

Pasalnya, tidak ada panitia pengadaan tanah yang dilibatkan. Barulah di tahun 2020, setelah harga disepakati HS, maka Awan Setiawan mengeluarkan Surat Keputusan Panitia Pengadaan.

Tanah yang dibeli seluas 7.104 meter persegi berlokasi di Kelurahan Jatimulyo Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang dengan harga Rp 6 juta per meter, angka yang ditentukan sepihak tanpa appraisal resmi.

Di dalam praktinya, HS menerima uang muka Rp 3,8 miliar pada 30 Desember 2020, padahal surat kuasa menjual baru terbit di tanggal 4 Januari 2021.

Kemudian di tahun anggaran 2021, AS memerintahkan bendahara Polinema membayar Rp 22,6 miliar kepada HS tanpa disertai perolehan hak atas tanah.

Pembayaran tersebut seolah-olah diselesaikan dalam satu tahun anggaran.

Bertentangan dengan isi PPJB yang mengatur pembayaran secara bertahap.

Namun ternyata, lahan tanah yang dibeli tidak dapat digunakan.

Setelah dilakukan appraisal oleh pihak independen, ditemukan sebagian bidang tanah berada di dekat sempadan sungai yang membuatnya tidak layak untuk digunakan dalam perluasan kampus.

JPU Kejari Kota Malang mendakwa  keduanya melanggar pasal yang sama. Yakni dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara, dakwaan subsidair untuk keduanya dikenakan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Sumber: SuryaMalang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved