Malang Raya

Jurnalis Belum Bebas dari Kekerasan

Jurnalis masih rawan mengalami kekerasan baik secara fisik maupun pemidanaan dalam melakukan kegiatan jurnalistik.

Editor: fatkhulalami
SURYAMALANG.COM/Samsul Hadi
Puluhan jurnalis Malang Raya, Jawa timur menggelar aksi damai untuk memperingati Hari Kemerdekaan Pers Internasional, Minggu (3/5/2015). 

SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Jurnalis Malang Raya turun jalan menggelar aksi damai untuk memperingati Hari Kemerdekaan Pers Internasional atau Worl Press Freedom Day (WPFD), di Balai Kota Malang, Minggu (3/5/2015).

Aksi itu diikuti perwakilan organisasi jurnalis di Malang Raya, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Aksi juga diikuti perwakilan mahasiswa di Malang.

Aksi dimulai dengan longmarch dari Balai Kota Malang menuju Monumen Chairil Anwar di jalan Basuki Rahmat.

Para peseta aksi membentangkan spanduk bertuliskan Hari Kemerdekaan Pers Internasional. Selain itu juga ada spanduk yang bertuliskan Kebebasan Pers di Bumi Papua.

Para peserta aksi juga membagikan poster dan selebaran kepada para pengguna jalan. Para jurnalis ingin masyarakat mengetahui bahwa pada 3 Mei merupakan Hari Kemerdekaan Pers Internasional.

Para jurnalis menganggap Hari Kemerdekaan Pers belum populer.

Ketua AJI Malang, Eko Widianto mengatakan, sampai hari ini jurnalis belum bebas. Jurnalis masih rawan mengalami kekerasan baik secara fisik maupun pemidanaan dalam melakukan kegiatan jurnalistik.

Sebagai contoh penetapan tersangka Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat pada awal Desember 2014.

Sebenarnya, kasus itu sudah ditangani Dewan Pers. Tetapi, sampai sekarang status tersangka Meidyatama belum dicabut meski Dewan Pers sudah melayangkan surat ke polisi bahwa kasus tersebut merupakan rana UU Pers.

Perlakuan buruk polisi juga menimpa jurnalis Tribun Lampung, Ridwan Hardiansyah pada 4 Maret 2015.

Polisi menggeledah dan menangkap Ridwan tanpa ada surat perintah penangkapan. Belakangan diketahui, polisi salah orang dalam melakukan penangkapan. Peristiwa itu membuat korban trauma bertemu dengan polisi.

"Kami meminta polisi agar setiap kasus yang berkaitan dengan pemberitaan diselesaikan menggunakan UU Pers. Itu pun harus melalui rekomendasi Dewan Pers," kata Eko.

Menurutnya, sampai sekarang polisi masih menjadi musuh bagi kebebasan pers. Polisi dianggap gagal dam mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik.

"Selain itu, kami juga mengajak jurnalis agar sadar bahwa kerja jurnalistik penuh dengan risiko. Untuk itu, jurnalis harus meningkatkan profesionalisme, supaya menghindari kekerasan. Karena kekerasan terhadap jurnlis sering timbul karena kurang profesional jurnalis dalam kegiatan jurnalistik," ujarnya.

(Samsul Hadi)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved