Malang Raya
Festival di Candi Jago : Serius Bahas Keterkaitan Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Singharaja Bali
“Perlu kita menjalin dengan negara se-Asia, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam. Bahkan India dan China juga. Tentunya yang memiliki relasi"
Penulis: Sany Eka Putri | Editor: eko darmoko
SURYAMALANG.COM, TUMPANG - Masyarakat membanjiri Candi Jago (Jajaghu) di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2016) malam. Beberapa pertunjukan seni disuguhkan untuk menutup Festival Singhasari Literasi yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang.
Pertunjukan seni ini di antaranya adalah dalang cilik Claudio Akbar yang membawakan cerita fabel Tantri. Lalu ada persembahan Tari Grebek Sabrang, Tari Gunung Sari dari Padepokan Seni Mangun Darmo, Tari Beskalan Lanang, musik Dawai Nusantara. Festival Singhasari Literasi ini digelar karena adanya keterkaitan antara Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Singharaja di Buleleng, Bali.
Festival Singhasari Literasi dengan tema Jejak Negara Singha dan Mitreka Buddhaya ini merupakan acara pertama kali yang diadakan oleh Pemkab Malang. Festival Singhasari Literasi diadakan mulai Kamis (29/9/2016) hingga Sabtu (1/10/2016). Dari serangkaian kegiatan itu, masih pada tahap pembahasan oleh ahli sejarah.
Ngurah Paramartha, Praktisi Pariwisata asal Buleleng Bali, mengatakan sejarah ialah hal yang wajib dipelajari oleh siapa saja. Dirinya menyebut karena sejarah bisa mengetahui jejak peninggalan warisan. Ngurah juga masih akan mempelajari tentang keterkaitan antara Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Singharaja, selain kesamaan perihal simbol Singa.
“Dengan berkunjung ke situs sejarah seperti Candi Jago, Candi Kidal, pada relief dan arca ini menunjukkan adanya kesamaan. Relief singa yang ada pada batu di Candi Jago, yakni singa kembar, ini juga ada pada relief candi di Buleleng. Nah inilah yang kita kupas tuntas. Kita baca dan mengulas kembali sejarah agar tidak ditinggalkan,” tutur dia di malam puncak festival itu.
Menurutnya, ada kesamaan dari relief yang ada yakni dari segi peradaban. Di antaranya menggambarkan kemajuan pemerintahan, perdagangan, pertanian, bahkan teknologi dan filosofi hidup bernegara.
Dwi Cahyono, Arkeolog dari Kabupaten Malang, menambahkan riset historis yang dilakukan para arkeolog tentang Kerajaan Singhasari di masa kejayaan tahun 1222 - 1292 Masehi ini karena masih belum lengkap, jika dibandingkan tentang riset sejarah Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya. Oleh karena itu, peninggalan Kerajaan Singhasari sangat perlu untuk diliterasikan.
“Makanya perlu untuk terjun langsung ke Candi Jago, Candi Kidal, Candi Mendut, dan semua tempat sejarah. Karena yang ada di sini itu merupakan bukti peninggalan sejarah. Relief ini cukup memberikan bukti untuk membuktikan adanya keterkaitan sejarah,” imbuh Dwi.
Dwi juga sudah mempersiapkan untuk tindak lanjut dari Festival Singhasari Literasi, yakni akan membukukan sejarah Singhasari yang selama ini belum ada dengan melibatkan pakar sejarah. Lalu menjalin kemitraan budaya (mitreka budaya) dengan daerah lain seperti Kabupaten Darmasraya Sumatera Barat, Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.
“Perlu juga kita menjalin dengan negara se-Asia, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam. Bahkan India dan China juga. Tentunya yang memiliki relasi politik, ekonomi, dan budaya dengan kerajaan Singhasari,” sebutnya.
Kadisbudpar Kabupaten Malang, Made Arya Wedhantara menambahkan, kegiatan Festival Singhasari Literasi akan dilanjut di Kabupaten Buleleng, Bali pada 23 Oktober nanti. Kelanjutan ini hampir sama dengan kegiatan di Kabupaten Malang. Yakni mengunjungi situs-situs peninggalan sejarah seperti candi dan pura.
“Ya pastinya kita bakalan mengunjungi situs sejarah di sana. Dan setelah menggali informasi di sini, akan diulas lagi di sana. Materi akan dikembangkan,” kata dia.
Selain untuk menarik minat masyarakat agar mau mempelajari sejarah, juga untuk meningkatkan wisata heritage di Kabupaten Malang. Selama ini ia mengakui bahwa wisata heritage masih kurang bagus dan masih lemah. Sehingga, tahun depan ia ingin memasukkan wisata heritage ke dalam kurikulum pemdidikan.
Hal ini sudah ia sampaikan ke Mendikbud beberapa waktu lalu. Ia berharap ketika wisata heritage masuk ke kurikulum, akan ada pelajaran mengunjungi jejak situs sejarah untuk siswa baik itu jenjang SD, SMP, dan SMA.
Ia menjelaskan, sejauh ini, pemkab kesulitan untuk mengelola situs sejarah, karena belum memiliki akses khusus apabila ingin membangun lahan di sekitar candi. “Masalah kami itu cuma lahan. karena kami masih belum punya wewenang untuk membuat lahan sebagai media pembelajaran. Di sekitar situs, di kelilingi oleh rumah warga,” imbuh Made.