Travelling

Jualan Sebelum Ada PKI, Wedang Ronde Mbah Paiyem Disukai Presiden Soeharto dan Sri Sultan HB X

"Saya lupa pindah di sini (Jalan Kauman) kapan, tapi sudah lama saya di sini dari harga ronde masih Rp 1.500 sampai sekarang Rp 5.000," ucapnya.

Editor: eko darmoko
KOMPAS.com/Wijaya Kusuma
Paiyem Karsowiyono 

SURYAMALANG.COM - Pada usia ke-85, Paiyem Karsowiyono enggan berdiam diri di rumah. Hujan yang mengguyur Yogyakarta tak menjadi halangan baginya untuk tetap berjualan wedang ronde di pinggiran trotoar Jalan Kauman, Kota Yogyakarta.

Sembari menunggu pembeli, Paiyem duduk di kursi kayu panjang. Tepat di atasnya, sebuah terpal kecil berwarna coklat berukuran sekitar 2 meter x 2 meter terikat antara gerobak dan tiang kayu untuk melindunginya dari guyuran air hujan.

Meski embusan angin sering kali membawa butiran-butiran air hujan hingga mengenai kulit tuanya. Lampu teplok satu-satunya cahaya yang meneranginya setiap kali menyajikan wedang ronde.

"Ya kalau hujan seperti ini dingin, tapi karena sudah biasa ya tidak apa-apa. Seneng jualan, bisa ngobrol sama pembeli, cerita-cerita, nambah saudara," ujar Paiyem sambil memasukan satu demi satu bahan wedang ronde ke dalam mangkok, Kamis (1/12/2016).

Setelah membuat satu mangkok wedang ronde, Paiyem kembali duduk. Sambil menunggu pembeli, Paiyem bercerita telah menekuni usaha jualan wedang ronde sejak lama. Dia pertama kali berjualan wedang ronde sebelum tahun 1965.

"Sebelum PKI sudah jualan ronde sama kacang rebus," ucapnya.

Pertama kali, Paiyem menjajakan wedang rondenya berdua bersama suaminya. Ia berjualan pertama kali di Ngampilan kota Yogyakarta, setelah itu ia pindah ke Pasar Ngasem. Lama di Pasar Ngasem, Paiyem lalu pindah ke Jalan Kauman, Kota Yogyakarta hingga saat ini.

"Saya lupa pindah di sini (Jalan Kauman) kapan, tapi sudah lama saya di sini dari harga ronde masih Rp 1.500 sampai sekarang Rp 5.000," ucapnya.

Kemampuannya membuat wedang ronde ini diperolehnya secara otodidak. Dia dan suaminya hanya menghafalkan bahan-bahan lalu mempraktikannya.

Satu yang membedakan, wedang ronde buatan Paiyem hingga digemari pembeli karena semuanya dari bahan alami, tanpa pengawet. Bahan-bahan itu dibeli langsung di pasar. Bahkan untuk tetap mempertahankan kualitas dan citarasa, serta kekenyalan ronde yang pas, Paiyem mengolah sendiri dengan membeli ketan di pasar.

Kini, Paiyem masih menumbuk beras ketan hingga halus. Setelah itu, dengan jarinya, dia membuat bentuk bulatan ronde. Setiap hari, Paiyem masih membuat rata-rata sekitar 200 porsi.

"Tidak beli tepung jadi, rasanya nanti beda, saya numbuk ketan sendiri untuk rondenya, jahenya juga saya bakar sendiri. Mulai proses membuat wedang ronde itu jam 2 siang," tuturnya.

"Tutup jam 12 malam, tapi sering jam 9 malam sudah habis. Tapi bulan ini memang lagi sepi," tuturnya.

Nenek yang telah memiliki dua orang cicit ini mengaku belum akan berhenti berjualan sendiri sampai fisiknya benar-benar tidak kuat lagi. Sebab baginya wedang ronde sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.

"Hasilnya tidak tentu, tetapi rejeki sudah ada yang mengatur, kita hanya berusaha. Pokoknya tetep jualan," kata Paiyem.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved