Malang Raya

Sensor dalam Film Bukan Hanya Tugas Pemerintah, Tapi Masyarakat Juga Bisa Melakukannya

Karena itu, peran orang tua harus lebih ditingkatkan. Misalkan disarankan pada jam-jam tertentu anak-anak dilarang memakai HP-nya.

SURYAMALANG.COM/Sylvianita Widyawati
Dodi Budiatman, Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) RI saat di Hotel Aria Gajayana Kota Malang, Rabu (13/9/2017). 

SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Dodi Budiatman, Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) RI menyatakan peran sensor bukan hanya tugas pemerintah. Tapi masyarakat juga bisa melindungi dirinya. Meski sikap masyarakat masih variabel.

"Contohnya saja saat ingin nonton film di bioskop untuk 17 tahun ke atas, namun membawa anaknya yang berusia 10 tahun," ujar Dodi di sela diskusi "Melindungi Masyarakat Dari Pengaruh Negatif Film Melalui Sensor Mandiri" di Hotek Aria Gajayana Kota Malang, Rabu (13/9/2017). 

Sementara pengelola bioskop mungkin tidak berani menegur karena anak-anak bersama orang tuanya. Sehingga orang tua sebagai individu juga sudah melakukan proses sensor mandiri dengan tidak mengajak anaknya karena tidak sesuai usianya.

Sebab dikhawatirkan ada dampak peniruannya. Namun yang paling harus diwaspadai adalah tontotan yang menggunakan perangkat IT atau internet. Sebab banyak hal bisa ditonton lewat HP yang memiliki jaringan internet.

Karena itu, peran orang tua harus lebih ditingkatkan. Misalkan disarankan pada jam-jam tertentu anak-anak dilarang memakai HP-nya.

"Juga jangan dibuka semua aksesnya. Itu malah tidak sayang anaknya. Jadi, orang tua juga harus ikut mengawasi," ujarnya.

Kekhawatiran orang tua akan mudahnya akses tontonan di internet juga disampaikan. Terutama yang berbau porno.

"Coba nulis kata kunci soal itu di google saja sudah keluar banyak," kata peserta di acara itu.

Karena itu, lanjut Dodi, masing-masing harus menjalankan fungsi sensor mandiri. Untuk anak, ortu perlu mendampinginya. Sedang untuk produksi, sensor mandiri juga harus dilakukan. Hal itu disampaikan oleh Monang Sinambela, tenaga sensor film LSF RI.

"Mulai dari produsernya. Misalkan sudah membayar artis mahal untuk melakukan sesuatu dan tahu bakal kena sensor, maka perlu sensor mandiri dulu. Daripada sudah membayar artis mahal.

"Kalau sudah ada sensor mandiri, maka pesan yang ingin disampaikan lewat prosuksinya juga akan sampai," jelas Monang.

Adapun sensor mandiri adalah sebuah kegiatan penelitian, penilaian, memilih/menentukan kelayakan atas sebuah tontonan/produksi yang dilakukan secara mandiri oleh individu, masyarakat dan keluarga. Latar belakangnya karena perkembangan IT begitu pesat.

"Di ruang anak misalkan tidak ada TV. Namun ada smartphpone. Maka semua bisa diakses. Padahal literasi tiap anak juga berbeda," katanya. Hasil dari pengaruh itu misalkan pada perubahan sikap/perilaku.

Gara-garanya suka nonton film di kamar. Ortu tidak boleh masuk karena menganggap itu otoritas dia yang diabsorsi dari tayangan. Keresahan lain yang diungkap peserta adalah perlunya evaluasi lagi soal jam tayang di TV.

Sebab pembagian jam tayang sudah tidak efektif. Karena anak-anak banyak juga yang begadang sehingga menjangkau ke tayangan yang harusnya bukan untuk usianya.

"Menurut saya, jam tayang sekarang sudah tidak update lagi. Perlu direvisi," ujar peserta dari perwakilan OPD (Organisasi Perangkat Daerah).

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved