Nasional
Mahkamah Konstitusi Tolak Kriminalisasi LGBT dan Hubungan Seks di Luar Nikah
"Hukum berhenti di depan pintu kamar atau pintu rumah," kata Rita Soebagio. Artinya, hukum tidak boleh wilayah privat.
SURYAMALANG.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan memperluas pasal perzinaan dalam KUHP. Putusan MK itu dihasilkan lewat dissenting opinion dengan rasio 5:4.
"Amar putusan mengadili menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Arief Hidayat di persidangan, Kamis (14/2), seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia, Tito Sianipar.
Dalam putusan yang dibacakan Kamis (14/12), dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan baru.
Mahkamah juga menyatakan bahwa pasal-pasal KUHP yang dimohonkan untuk diuji-materi, tidak bertentangan dengan konsitusi.
Permohonan uji materi diajukan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia. Sidang dimulai pukul 09.00 WIB dengan pembacaan amar putusan oleh masing-masing hakim konstitusi.
Ketua MK Arief Hidayat mengatakan di persidangan bahwa ada empat hakim konstitusi yang dissenting opinion atau beda pendapat dengan putusan.
Pertama Arief Hidayat sendiri dan tiga hakim lain: Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto.
Sementara lima hakim konstitusi yang menolak permohonan pemohon adalah Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M. Sitompul, dan Suhartoyo.
Ada tiga pasal KUHP yang dimohon untuk diuji oleh MK.
Pasal 284 tentang perzinaan yang tadinya terbatas dalam kaitan pernikahan dimohonkan untuk diperluas ke konteks di luar pernikahan.
Pasal 285 tentang perkosaan, yang tadinya terbatas laki-laki terhadap perempuan, dimintakan untuk diperluas pada laki-laki ke laki-laki ataupun perempuan ke laki-laki.
Dan Pasal 292 tentang percabulan anak, yang asalnya sesama jenis laki-laki dewasa terhadap yang belum dewasa dimintakan untuk dihilangkan batasan umurnya.
Euis Sunarti, salah seorang anggota AILA, mengatakan, "Kami tentu sedih. (Padahal) kami berharap banyak pada lembaga MK ini," tambah guru besar bidang ketahanan keluarga Institut Pertanian Bogor ini.
Ia menampik salah satu pertimbangan dalam penolakan majelis adalah karena pemidanaan akan membuat penjara Indonesia tidak muat menampung.
"Jangan bandingkan persoalan teknis kerepotan itu dengan bencana sosial dan bencana moral yang terjadi," ujar Euis.