Probolinggo
Chandra Nurul Susanti, Kartini Milenial dari Probolinggo
Chandra Nurul Susanti Arifin kelahiran Malang, 30 Maret 1976. Ketua Ikawan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) dan memimpin partai politik.
Penulis: Galih Lintartika | Editor: yuli
SURYAMALANG.COM, PROBOLINGGO - Teman dan koleganya menyebutnya sebagai figur Kartini masa kini atau Kartini milenal. Lebih tepatnya Kartini milenial dari Kota Probolinggo, kota tempatnya berkarya saat ini.
Sebutan itu disematkan pada Chandra Nurul Susanti Arifin, lantaran wanita Probolinggo ini dikena aktif menggerakkan kaum hawa. Ia juga dianggap sebagai sosok wanita yang tangguh di dunia bisnisnya. Menjadi Ketua Ikawan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) dan memimpin partai politik (parpol).
Nurul lahir dan besar dari keluarga berkecukupan. Almarhum bapaknya itu seorang pengacara ternama. Meski bergelempangan harta, tidak membuatnya bangga ataupun jumawa. Sejak muda, ia sudah terbiasa bekerja dan berwirausaha. Perjalanan itu membuatnya hidup lebih mandiri.
Kini, berkat usaha panjang yang dijalaninya, Nurul menjelama menjadi salah satu pebisnis wanita tangguh di kotanya. Ia dikenal sebagai bos pertambangan pasir sirtu dan material. Sebuah ladang rejeki yang selama ini identik milik kaum lak-laki. Tambangnya tersebar di sejumlah lokasi di dua daerah, Probolinggo dan Lumajang.
"Saya akhirnya bisa menepis keraguan sekaligus membuktikan, bahwa perempuan itu bisa bisnis seperti yang dijalani laki - laki, termasuk dalam bidang tambang, material seperti ini. Juga bisa menjadi kontraktor," katanya.
Selepas SMA, ia merantau ke Surabaya. Kuliah di sebuah universitas swasta di Surabaya. Ia mengambil studi hukum di universitas itu. Setiap bulannya, ia mendapatkan jatah dari orang tuannya, uang kost dan uang jajan untuk sehari-harinya.
Meski kiriman uang sangat cukup, Nurul terus memutar otak untuk mandiri. Di semester empat, ia bergabung sebuah perusahaan penerbitan. "Saya bekerja dan belajar menjadi marketing di sana", tuturnya.
Selama empat semester, ia mengabdi di sana. Bahkan, hasil dari pekerjannya itu bisa digunakannya membayar kuliah, dan itu sudah lebih. “Selepas kuliah , saya sudah mulai berwirausaha. Nah, saya mulai usaha proyekan. Kok beda, memang, saya juga tidak sadar kalau saya usaha ini jauh dari ilmu yang saya dapatkan waktu kuliah. Tapi, ya sudahlah, saya menerimanya,” kata Nurul.
Perempuan kelahiran Malang, 30 Maret 1976 ini butuh watu lama memahami dunia proyek. Dia tidak memiliki basic teknil sipil, arsitek, teknik industri dan lainnya. Namun, ia mendapatkan support dari almarhum ayahnya.
“Relasinya ayah kan banyak, nah kebetulan saya belajar dari sana. Saya belajar otodidak , dan hanya mendapatkan pendampingan dari teman ayahnya. Pelan tapi pasti, lama-kelamaan saya mulai mengawasi,” jelas dia.
Dikatakan dia, setelah mulai menguasai medan, ia mulai memberanikan diri menggarap proyek dan mengikuti lelang. Proyek pertamanya itu menggarap MCK yang dibangun menggunakan APBD. Nah, saat itu, dirinya sudah mendapatkan kepercayaan dari pemerintah.
“Di situ, kepercayaan diri saya mulai tumbuh,” terangnya.
Perlahan ia kebanjiran order proyek dan tawaran kerjasama. “Saya lalu mulai mengembangkan bisnis di bidang lain, yakni pertambangan pasir,” ungkapnya.
Awalnya banyak orang yang mencibir. Mereka menganggap perempuan tidak bisa cocok bisnis pertambangan pasir. Ia tetap melangkah dan melakukan apa yang sudah dipilihnya.
Pilihan Nurul ternyata benar. Bisnis tambang itu menjadi ladang hokinya. Dari semula tidak punya lahan, satu persatu lahan bisa dimiliknya. Kini sudah puluhan lahan.