Universitas Widyagama

Ketua Mahkamah Konstitusi ke Malang, Ungkap Lika-liku Sengketa Pemilu

Dr Anwar Usman SH MH, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi keynote speaker seminar di Universitas Widyagama Malang.

Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: yuli
sylvianita widyawati
Seminar nasional "Sengketa Pemilu di Tahun Politik" digelar di Universitas Widyagama Malang, Jumat (20/7/2018). 

SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Dr Anwar Usman SH MH, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat menjadi keynote speaker seminar "Sengketa Pemilu di Tahun Politik" di Universitas Widyagama Malang menyampaikan ada 69 permohonan gugatan hasil pemilu yang didaftarkan ke MK.

"Awalnya ada 70. Namun satu baru dicabut. Jadi tinggal 69," kata Anwar.

Sementara pilkada serentak pada 2018 ada 171 daerah sehingga kurang dari separuhnya yang melaporkan masalah sengketa pemilu seperti perselisihan suara dibawa ke MK. Ia menilai pelaksanaan pilkada serentak berjalan mulus.

Sementara, Ketua KPU Jatim, Eko Sasmito, menyatakan hasil perolehan suara di pilgub Jatim juga tidak ada gugatan. Begitu juga Kota Malang. Namun ada tiga daerah lain yang melanjutkan ke MK.

"Hanya sedikit daerah mungkin karena pemohon sudah menyadari permohonannya tidak memenuhi syarat," kata Eko di seminar itu.

Kecuali mungkin merasa ada TSM (Terstruktur, Sistemik, Masif) dan berharap ada pemilihan suara ulang. Dengan transparansi hasil di Jatim, maka peluang ke MK di Jakarta makin berkurang. "Ini melegakan saya sebagai penyelenggara pemilu," kata dia.

Lanjutnya, langkah ke MK tak hanya dilakukan perseorangan calon namun juga parpol. Kadang merasa tidak puas di KPU, Bawaslu dan kemudian ke MK. "Jadi, syukurlah ada MK," ujar Eko disambung tawa ringan. Namun jika gagal di MK, lanjutnya, masih ada juga yang mengajukan gugatan ke PTUN dan PN.

"Eksistensi hukum kita membingungkan karena bertentangan dengan prinsip hukum," ujarnya.

Misalkan mengajukan gugatan perdata. Meski melihatkan sebagai upaya kreatif, namun kadang jadi tumpang tindih. Misalkan saat melaporkan penyelenggara pemilu ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) yang sanksinya final dan mengikat, tapi kadang masih di PTUN kan.

"Bagi kawan-kawan di bidang hukum, ini bisa jadi kajian menarik dalam proses pemilu. Karena ada tidak ada kesaman norma yang dijalankan. Jangan berjalan sendiri-sendiri," ungkapnya.

Sedang Prof A Mukhtie Fadjar SH MH, hakim di MK periode 2003-2009 dan Wakil Ketua MK periode 2008-2009 ini menyatakan haisl di pemilu tak lepas dari prosesnya.

"Seperti perolehan hasil ujian mahasiswa di perguruan tinggi juga tak lepas dari prosesnya sehingga dapat nilai A, B atau C," kata Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Indonesia Widyagama ini. Sehingga yang tak puas hasil pemilu lari ke MK.

Namun jika melihat masih ada permohonan sebanyak 69 di tahun ini, dari pengalaman sebelumnya hanya 6-7 kasus yang sesuai ketentuan. Namun peluang siapa tahu MK salah melihat angka dimanfaatkan. Padahal, lanjut Mukhtie, harusnya dengan melihat hasil lembaga survei, hitung cepat, maka tiga hari saja hasil pemilu sudah diketahui.

"Yang kalah sudah lempar handuk," ungkapnya. Dikatakan dia, penanganan hasil perolehan suara di pilkada harusnya ditangani oleh badan peradilan khusus. Namun sampai saat ini belum terbentuk meski sudah diamanatkan pada 2015.

Sehingga semua kemudian ke MK. Padahal di negara lain, sudah dibentuk badan peradilan khusus baik dibawah MA atau MK setempat. Ditambahkan Anwar Usman, pemilu harus dimaknai positif meski kompleksitasnya tinggi. Ia menyitir pembicaraan dengan Wapres JK bahwa pemilu di Indonesia paling sulit.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved