Mojokerto
Kisah Mengerikan Suami Istri dan Anaknya asal Mojokerto saat Gempa dan Tsunami di Palu
Sebagian warga menyuruh kami tiarap. Tetapi kami tak mau. Suami saya mempunyai insting, bahwa kami harus lari ke tempat yang lebih tinggi.
Penulis: Danendra Kusuma | Editor: yuli
SURYAMALANG.COM, MOJOKERTO - Dian Permata Sari (27) dan Nur Afif (27), pasangan suami istri asal Dusun Sambisari, Desa Kutorejo, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto, menjadi korban selamat gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018) lalu.
Saat ini, mereka sudah kembali ke pelukan keluarga di Mojokerto.
Saat ditemui SuryaMalang.com di kediamannya, Dian secara menceritakan detik-detik terjadinya gempa yang disusul tsunami.
Ia bersama suami dan seorang anaknya, Rizky Wildan Maulana (8), sudah menetap di Perumahan Petobo Permai, Kota Palu selama 6 tahun. Sesuai peta dari Google di bawah, jarak antara perumahan itu dengan bibir pantai terdekat sekitar 10 Km.
Gempa berkekuatan besar dirasakan oleh Dian dan keluarga menjelang salat Maghrib.
Ketika itu Dian dan Rizky sedang bersantai sambil menyantap hidangan makan sore. Sedangkan suaminya berada di dalam kamar.
Tiba-tiba suasana tenang berubah menjadi mencekam. Ia merasakan getaran dari dalam tanah.
Semakin lama, goncangan itu terasa kencang. Ia bersama anaknya terlempar akibat goncangan.
Suaminya bergegas bangun dari tempat tidur, lalu berkumpul dengan Dian dan Rizky di ruang tamu.
Ia semakin panik ketika menoleh ke belakang, tembok di ruang dapur runtuh. Kaca-kaca rumah pun pecah dan berhamburan ke arah mereka. Dagu anak pertamanya itu tergores kaca.
Keluarga kecil ini semakin panik, mereka ingin bergegas ke luar rumah. Sementara, pintu utama tiba-tiba terkunci rapat.
Tangan Dian yang berhasil memegang gagang pintu tak bisa membukanya, meski dihentak beberapa kali.
Selang empat menit kemudian, goncangan gempa berhenti. Pintu pun dapat terbuka.
Mereka pun kaget mendapati tetangganya yang sudah berada di luar rumah berdarah-darah di bagian tangan dan kakinya.
"Sebagian rumah juga terlihat hancur, saya juga melihat ada genangan air di jalan. Saya kira itu air laut," kata Dian.
Tak berhenti di situ, tiba-tiba goncangan gempa kembali terjadi. Semua warga yang berkumpul di luar rumah panik berhamburan mencari perlindungan.
"Sebagian warga menyuruh kami tiarap. Tetapi kami tak mau. Suami saya mempunyai insting, bahwa kami harus lari ke tempat yang lebih tinggi," katanya.
Kemudian mereka pun memilih mengambil langkah seribu. Mereka tak memperdulikan harta benda yang berada di dalam rumah. Bahkan, mereka tak memakai alas kaki ketika berlari.
Jarak antara bukit dan rumahnya sekira 10 km. Mereka menempuh waktu sekira satu setengah jam. Mereka berlari bersama 8 orang warga lain.
"Kami lari sambil berpegangan tangan, sampai anak saya terseret sangking paniknya," katanya.
Setengah perjalanan, dia menengok ke arah belakang. Dia melihat ada kepulan asap serta suara yang bergemuruh.
Sembari berlari, suami yang berada di sampingnya mengusap kepalanya dan menenangkannya.
"Kami terus naik untuk menyelamatkan diri," ucapnya.
Akhirnya, mereka sampai di atas bukit. Dian dan suaminya memilih untuk tinggal sementara di atas bukit karena guncangan gempa masih terasa. Tanpa penerangan dan tanpa alas tidur.
Senter dari gawai adalah salah satu sumber penerangannya. Di atas bukit hanya terdengar suara klakson kendaraan yang bersahutan.
"Tak lama hape saya drop (mati). Gelap gulita. Saat itu Awan mendung tak ada bintang. Kami berpegangan dan berpelukan, anak saya tidur, saya duduk. Mata kami membelalak terus waspada. Kami tak membawa makanan, hanya mengandalkan air minum yang diberi warga lain," ungkapnya.
Sekira pukul 05.00 pagi, dari arah utara ada beberapa orang yang sekujur tubuhnya dipenuhi lumpur berjalan di hadapan mereka.
Ketiga orang itu semakin takut. Rupanya, desa yang berada di atas bukit dari tempat mereka berlindung terbenam lumpur.
"Itu wilayah Sigi. Bukan terkena tsunami tetapi rumah di sana porak poranda diterjang lumpur (likuifaksi)," timpal Afif.
Mereka memutuskan untuk turun menuju Karaja Lemba karena takut lumpur akan menerjang tempatnya berlindung.
"Saya mendapat informasi kalau di titik amannya berada Karaja Lemba. Kami pun ke sana," terangnya.
Mereka juga mendapatkan informasi dari keluarga yang berada di Mojokerto, bahwa ada pesawat Hercules datang ke Palu dengan tujuan selanjutnya ke Makassar.
"Kami pun berjalan ke Bandara Mutiara Sis Al-Jufrie. Kami sampai di bandara pukul 10.30," urainya.
Selanjutnya, pembicaraan sempat terhenti sejenak.
Mata Dian menatap ke arah sudut atas rumah dan berkaca-kaca. Kemudian, Dian menghela nafas panjang lantas melanjutkan cerita sambil terisak-isak.
Ia menceritakan, sesampainya di pintu gerbang bandara, mereka dilarang masuk. Dian berusaha memberikan penjelasan kepada petugas penjagaan.
"Saya bilang ke penjaga, saya punya anak kecil, anak saya kasihan, bapak punya anak kecil kan, bagaimana kalau semisal di posisi saya?" paparnya.
Para penjaga sontak luluh, Dian dan Rizky diperbolehkan masuk dan mendata diri mereka. Sedangkan Afif tak diperbolehkan masuk.
"Waktu itu yang boleh masuk saya dengan anak saya saja. Suami saya tidak diperbolehkan," katanya.
Isak tangis Dian pecah ketika pikirannya melanglang mengingat anaknya memegang tangan petugas sambil meronta dan menangis.
Rizky berkata kepada petugas, "Tolong pak saya tidak mau ayah saya mati, saya tidak mau ayah saya kena air laut. Kalau kena air laut, saya tidak punya ayah."
"Mendengar hal itu petugas sempat diam selama 10 menit. Lalu suami saya diperbolehkan masuk," ucap Dian seraya menyeka air mata dengan ujung jilbabnya.
Mereka pun berhasil menaiki pesawat Hercules pertama yang mendarat di Palu bersama 200 orang menuju Makassar.
Selanjutnya Afif, Dian, dan Rizky mendarat di Bandara Abdul Rahman Saleh, Malang pada Sabtu malam.