Malang Raya
Kisah Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Keluar dari Palu Usai Gempa dan Tsunami
Dr Estu Widodo senang bisa kembali ke rumahnya di Perumahan Muara Sarana Indah (MSI), Dau, Kabupaten Malang.
Penulis: Benni Indo | Editor: Zainuddin
SURYAMALANG.COM, DAU - Dr Estu Widodo senang bisa kembali ke rumahnya di Perumahan Muara Sarana Indah (MSI), Dau, Kabupaten Malang.
Dosen Univeraitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu merupakan satu dari sekian banyak korban selamat bencana gempa dan tsunami di Palu beberapa waktu lalu.
Estu berhasil selamat dari bencana itu setelah terkatung-katung selama beberapa hari di Palu.
Saat gempa dan tsunami terjadi, dia berada di Hotel Mercure yang lokasinya hanya berjarak sekitar 50 meter dari Teluk Palu.
Dia berada di lantai empat hotel yang menawarkan pemandangan pantai indah tersebut.
Estu berangkat ke Palu karena tugas dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
Estu berangkat ke Palu pada Jumat (28/9/2018) pagi.
“Saya mendapat kamar yang langsung menghadap ke pantai. Saya langsung buka lebar-lebar gorden jendelanya,” ungkapnya.
Baru sebentar menikmati keindahan, gempa berkekuatan 7.4 SR menggoncang.
Estu kaget, dan hanya menunggu sampai goncangan berhenti.
Sejumlah barang di dalam kamar hotel berjatuhan. Lalu listrik juga padam.
“Rasanya seperti sedang naik bus yang sopirnya ngawur. Saya pasrah,” tuturnya.
Pintu kamarnya juga tidak bisa dibuka karena tertahan bangunan yang retak.
Kemudian datang gelombang tsunami yang membanjiri lantai satu hotel.
Hantaman ombak yang keras itu meluluhlantakkan lantai dasar.
Estu hanya bisa tiduran samping kasur sambil jaga-jaga bila terjadi gempa susulan.
“Saya hanya bisa berdoa. Saya sempat merasa bahwa hidup saya akan berakhir,” ungkapnya.
Meskipun tidak ada sinyal, dia sempat mengirim pesan kepada istrinya.
Estu minta agar keluarga ikhlas bila dia tidak bisa pulang dengan selamat.
Lulusan S1 Universitas Negeri Jember (Unej) ini bertahan selama 12 jam di kamar hotel.
Estu keluar dari hotel dengan cara memecah jendela dan menggunakan gorden kamar yang disambung menjadi panjang.
Dia mengikat gorden itu di kursi, dan ditahan oleh kasur.
“Kalau diikat di tembok, saya khawatir ambrol dan bangunannya menimpa saya,” urainya.
Sembari menyelamatkan diri, Estu sempat membawa barang pribadinya yang masih bisa diselamatkan, seperti laptop dan beberapa pakaian.
Dia juga mendapat bantuan tangga yang dipasang di dinding luar hotel oleh petugas hotel yang selamat.
“Saat tiba dibawah saya sempat berdiam diri sejenak dan memandangi hotel yang rusak parah,” kenangnya.
Setelah itu Estu berangkat ke Universitas Tadulako (Untad) untuk menjalankan tugasnya dari Kemenristekdikti.
Tak mudah untuk menuju lokasi, karena tidak ada transportasi. Jalanan pun rusak parah.
Akhirnya dia mengendarai ojek untuk menuju lokasi dengan ongkos Rp 125.000.
Setibanya di sana, ternyata acaranya dibatalkan karena ada bencana alam.
Dia berencana pulang ke Malang menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU pada 30 September 2018.
“Pesawat darurat ini diprioritaskan untuk orang tua, ibu-ibu, orang sakit, dan anak,” bebernya.
Akhirnya Estu memutuskan keluar Palu menggunakan jalur darat pada Senin 1 Oktober 2018.
Dia naik bus ke Gorontalo dengan waktu tempuh 24 jam.
Begitu telah keluar dari Palu, Estu merasa kega. Jalanan mulai lancar. Kehidupan normal juga mulai terlihat.
Dia sempat menghubungi keluarga di rumah.
Estu tiba di Bandara Jalaluddin, Gorontalo pada 2 Oktober 2018.
Lalu Estu melanjutkan perjalanan menuju Malang.
Estu mengaku tidak trauma pada bencana tersebut. Dia menganggap kejadian itu menjadi pelajaran berharga.