Advetorial
Brain Wash ASN Pemkot Malang, Revolusi Mental Ala Sutiaji
Bagi Sutiaji, mengetuk sisi kemanusiaan dan spritual yang paling dalam pada diri setiap orang, akan menjadi pondasi yang kuat.
Penulis: Benni Indo | Editor: Achmad Amru Muiz
SURYAMALANG.COM, MALANG - Brain wash menjadi bagian dari 99 hari kerja Wali Kota Malang, Sutiaji dan Wakil Wali Kota, Sofyan Edi Jarwoko. Brain wash dalam hal ini dimaksudkan untuk hal positif yaitu peningkatan kinerja Aparatur Sipil negara (ASN).
Ditarik pada "titik nol" pemikiran dan spiritual, Walikota Malang Sutiaji menjelaskan, kalau mencuci otak dan batin para pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Malang diperlukan.
"Berapa lama ego membelenggu diri kita, memasung nilai nilai solidaritas, "mematikan" jiwa empati dan simpati serta yang parah menyerabut sisi kemanusiaan kita,” kata Sutiaji, Kamis (29/11/2018).
Menurut Sutiaji, hilangnya integritas karena seseorang tercerabut dari hakekatnya selaku manusia yang bermartabat, yang senantiasa mengedepankan kejujuran, kemuliaan akhlak dan tindakan serta cara pandang yang terlalu condong pada perspektif materiil.
"Bisa jadi sosialisasi peraturan demi peraturan telah kita lakukan. Kaidah hukum perundangan juga diberikan. Namun, masih saja terjadi pelanggaran, indisilpliner, hingga kasus hukum. Itu karena ada ruang kosong yang sepenuhnya belum terisi, yakni sisi ruhaniah, batiniah dan mental spiritual, " ujar Sutiaji bertutur atas gagasan program "cuci otak" ASN di lingkungan Pemkot Malang.
Bagi Sutiaji, mengetuk sisi kemanusiaan dan spritual yang paling dalam pada diri setiap orang, akan menjadi pondasi yang kuat. Hal itu harus tersalurkan dalam sebuah program kerja, karena ujaran kebaikan mesti sering terdengar dan diketahui, apabila tidak dihidupkan terus menerus akan tenggelam dengan keburukan yang dibangun secara sistematis.
Sementara Pengasuh PP Sabilurrosyad Kota Malang, KH Marzuki Mustamar enggan mengomentari tentang istilah cuci otak. Namun di sisi lain, ia mendorong agar Pemkot Malang membina ke arah yang lebih baik kepada para pejabat di lingkungan Pemkot Malang.
“Saya tidak mengerti cuci otak itu kayak apa dan tidak mengerti. Pastinya, silahkan membina membimbing pegawainya, supaya ikhlas, bersih hatinya tidak ada dendam dengki di hati mereka dan serius melayani masyarakat,” kata Kyai Marzuki yang juga Ketua PWNU Jawa Timur tersebut.
Marzuki juga berharap, agar para pejabat skilnya ditingkatkan. Pasalnya, hal itu bisa meningkatkan kepedulian dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Monggo kalau itu. Itu harus dilakukan oleh semua orang. Memberikan layanan yang ikhlas, Orientasi serba materi dikurangi,” sarannya.
Kyai Marzuki juga menyarankan agar Sutiaji berhati-hati kepada ASN yang suka setor muka. Sutiaji diharapkan tidak langsung puas begitu saja ketika ada bawahan yang setor muka.
“Kadang-kadang mental ASN dikit-dikit setor muka, yang begitu dikurangi. Pak Sutiaji juga, jangan puas kalau ada ASN setor muka,” tandas Kyai Marzuki.
Kyai Marzuki menegaskan, agar Pemkot Malang tidak berdiri sendiri. Ia berharap agar Sutiaji bisa sowan ke para kyai dan meminta petuah dari para kyai untuk kebaikkan Kota Malang.
“Yang penting bagaimana, Sutiaji dan ASN kembali seperti semula. Sowan-sowan ke Kyai, minta pendapat Kyai. Sejatinya masyarakat dalam kepemimpinan kyai lewat tangannya seorang santri,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Dua Himpunan Psikolog Cabang Malang, Sayekti Pribadiningtyas menekankan agar para pejabat di lingkungan Pemkot Malang menikmati pekerjaannya sebagai seorang pelayan masyarakat. Menurutnya, jika pekerjaan itu dilakukan dengan hati yang senang, maka tidak akan ada beban psikolog.
“Sebenarnya tidak ada beban psikolog, karena ASN memang pekerjaannya pelayanan. Barangkali yang perlu ditingkatkan adalah persoalan integritas. Kalau kita memiliki integritas moral, secara otomatis kita bekerja itu sebagaimana kalau kita membutuhkan orang lain,” ujarnya.
Beban moral bagi seorang ASN adalah ketika dia tidak maksimal memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu, menurut Sayekti, hal-hal standar seperti senyum, sapa dan salam harus sering dibiasakan.
“Senyum salam sapa yang standar, itu kadang tidak semua orang bisa menerapkan dalam jam kerja. Sementara tuntutan di ruang kerja, kalau yang bersifat pribadi dikesampingkan dulu,” terangnya.
Ia juga mendorong agar Wali Kota Sutiaji bisa memberikan contoh langsung kepada bawahannya. Menurut Sayekti, seorang pemimpin seperti dalam jabatan walikota, selain melayani masyarakat juga melayani bawahannya.
“Ketika pimpinan itu menunjukkan satu contoh yang positif, aura positif itu secara otomatis mengikuti bawahannya. Jangan segan memotivasi, tidak sekadar kata-kata dan himbauan, pimpinan harus turun ke bawah,” tutur Sayekti.