Malang Raya

IKIP Budi Utomo Malang, Kampus Dengan Think Globally Dan Act Locally

IKIP IBU Kota Malang tidak saja maju dalam modernisasi pendidikan, tapi juga maju dalam pengembangan kebudayaan tradisional.

Penulis: Benni Indo | Editor: Achmad Amru Muiz
suryamalang.com/Benni Indo
Kim Seowon, mahasiswa IBU Malang asal Korea Selatan memperlihatkan batik yang ia buat bersama teman-temannya. Di sampingnya adalah Mukhtar yang sedang mewarnai motif bunga di atas kain. 

SURYAMALANG.COM, KLOJEN – Pagi yang cerah, suasana di halaman dalam Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Budi Utomo (IBU)  di Jalan Citandui No 46 Kota Malang tampak lengang. Perkuliahan sedang libur setelah mahasiswa menyelesaikan sementer ganjil.

Namun, di sebuah gazebo tempat biasa mahasiswa berkumpul, terlihat beberapa mahasiswa IBU yang berasal dari mancanegara. Ada dari Korea Selatan, Afghanistan, Ukraina, dan Jerman.

Mereka membawa cat pewarna dan sejumlah kain yang telah diberi motif. Ternyata pagi itu mereka akan membatik.

Ditemani dengan seorang pendamping, para mahasiswa mancangara ini mulai beraksi di atas kain. Dengan perlahan, jemari mereka menggerakkan kuas di atas kain. Mereka menggambar sejumlah motif, dan ada pula yang mewarnai motif.

Kim Seowon, seorang mahasiswa asal Korea Selatan saat ditemui sedang mewarnai batik yang telah diberi motif. Bersama Mukhtar Hassanpoor, mahasiswa asal Afghanistan, keduanya telah menyiapkan selembar kain dan beberapa botol berisi cairan warna.

Dia oleskan warna-warna pada selembar kain bermotif batik. Ada hijau, kuning dan merah. Sekitar 10 menit kemudian, pewarnaan itu selesai.

“Ya saya menyukai batik. Di Korea Selatan tidak ada batik seperti ini,” ujar Kim memulai pembicaraan.

Bagi Kim, membatik menjadi pengalaman pertamanya sepanjang hidup. Di Korea Selatan, dia tidak pernah berlajar membatik. “Kalau di Korea Selatan saya tidak tahu namanya apa,” ujarnya lugu.

Kim sebelumnya adalah mahasiswa kepariwisataan. Dengan belajar batik, itu membuat dirinya mengetahui budaya dan bahasa Indonesia.

Baginya itu penting untuk belajar bahasa agar pekerjaannya bisa lebih baik. Bisa juga mempromosikan budaya Indonesia di Korea Selatan. Bahkan, Kim sudah membawa sejumah batik yang ia buat sendiri ke Korea Selatan. “Ada beberapa batik yang saya bawa pulang. Saya kasihkan ibu saya di Korea Selatan,” ungkapnya.

Tentu saja ibunya Kim sangat senang mendapat hadiah batik yang dibuat oleh anaknya sendiri. Kim juga mengaku telah memberitahukan kepada sanak keluarga dan teman-temannya di Korea Selatan tentang Indonesia, IBU dan kebudayaan. Tentu hal itu menjadi bagian dari promosi yang dilakukan Kim.

Hal senada juga diakui Mukhtar Hassanpoor. Membatik baginya menyenangkan. Meskipun IBU telah merambah ke dunia internasional, namun IBU masih tetap mengajarkan kebudayaan lokal kepada mahasiswa mancanegara.

Seperti istilah think globally, act locally. IBU tidak saja maju dalam modernisasi pendidikan, tapi juga maju dalam pengembangan kebudayaan tradisional. “Di sini kami juga belajar gamelan dan pencak silat,” ujar Mukhtar.

Selama hampir setengah tahun di Kota Malang, Mukhtar juga belajar bahasa Jawa di IBU. Satu hal yang ia ketahui, bahasa Jawa memiliki strata berbeda. Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, maka bahasa yang digunakan berbeda jika dibanding berbicara dengan teman-teman sebaya.

Saat berada di Indonesia, ada satu hal yang menjadi pengalaman tak terlupakan oleh Mukhtar. Yakni melihat lautan.

Maklum saja, di Afghanistan tidak ada lautan. Negara Afghanistan didominasi oleh bukit-bukit yang membentang dari utara ke selatan.

“Sepanjang hidup saya, baru sekali ini melihat pantai dan lautan. Saya tidak ingat apa nama pantainya. Tapi itu terletak di bagian selatan Malang dan sangat indah. Saya ingin ke sana lagi,” ungkapnya.

Rektor IBU, Dr Nurcholis Sunuyeko menegaskan, IBU telah banyak berbenah untuk menjadi kampus yang lebih bekembang. Termasuk menekankan pada pola digital economy, artificial intelligence dan big data.

“Ilmu itu sesungguhnya saling terkait satu sama yang lain, maka perlu hubungan yang dinamis antar bidang ilmu. Misal Ilmu sosial dengan eksakta, yaitu teknologi budaya, sosioteknologi dan lainnya,” ujar Nurcholis.

Apalagi arus globaliasi yang telah masuk ke Indonesia. Mau tidak mau, kampus juga harus ikut andil  mempersiapkan generasi menghadapi tantangan global. Namun begitu, nilai-nilai kebudayaan juga tetap dipertahankan.

Dijelaskan Nurcholis, selain membatik,  mahasiswa mancanegara juga diajari seni tari. Misalnya tari Topeng Malangan dan Beskalan. Bahkan, untuk memperdalam seni dan budaya, mahasiswa mancanegara diajak ke Yogyakarta, Solo dan Bali.

“Kepercayaan warga dunia internasional semakin tinggi. Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 30 negara di IBU,” ungkapnya.

IBU adalah satu dari 57 kampus di Indonesia yang menerima mandat dari Kemenristekdikti untuk ketempatan mahasiswa mancanegara lewat program Dharmasiswa. Menghadapi revolusi industri 4.0, IBU pun banyak berbenah.

Segala fasilitas penunjang belajar mengajar juga dipenuhi. Tak hanya mahasiswa mancanegara saja, mahasiswa dalam negeri pun mendapatkan fasilitas yang sama.

“Inilah proses belajar bersama agar bisa bertindak di dalam dan di atas dunia. Untuk menjadi bersikap seperti kaum terdidik bagi masyarakat dalam menghadapi segala kondisi yang ada,” tutur Nurcholis. 

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved