Nasional
Gaji Tak Seberapa, Hervina Guru Honorer Dipecat via WhatsApp Seusai Curhat di Medsos Soal Nilai Gaji
Gaji Tak Seberapa, Hervina Guru Honorer Dipecat via WhatsApp Seusai Curhat di Medsos Soal Nilai Gaji
Sambil menenteng tas kecil dan kotak bekal, ibu satu anak ini berjalan kaki membelah kesunyian.
Lulusan SPG
Berta adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang setingkat dengan SMA.
Sebelum menjadi guru, ia bekerja di salah satu perusahaan kayu di Samarinda.
Namun, pada tahun 2005, perusahaan itu tutup dan karyawan dirumahkan, termasuk Berta.
Ia pun menganggur dan sang suami bekerja sebagai buruh bangunan.
Mereka tak lagi bisa membayar kontrakan di Samarinda. Pasangan suami istri itu kemudian pindah ke kebun di Kampung Berambai.
“Daripada bayar kontrakan, kami pindah ke kebun di sini (dekat Kampung Berambai). Kebetulan ada ipar yang juga berkebun di sini. Dia panggil kami ke sini,” kenang Berta.
Selama empat tahun, Berta membantu suaminya mengurus kebun. Pada tahun 2009, dia mendengar kabar bahwa SD yang terletak di Kampung Berambai butuh tenaga pengajar.
Walaupun jaraknya jauh, ia tetap melamar dan diterima sebagai pengajar. Gaji pertama, ia mendapatkan uang Rp 150.000 per bulan. Dua tahun kemudian gaji yang diterimanya naik menjadi Rp 400.000.
“Sampai sekarang gaji saya Rp 1 juta per bulan,” tutur wanita asal Toraja, Sulawesi Selatan, ini.
Berta mengaku, gajinya tak mencukupi kebutuhan hidup keluarga, apalagi biaya sekolah anak.
Ia pun mencari penghasilan tambahan dengan menjual hasil kebun di pasar malam.
“Setiap malam Senin saya jualan sayur, ubi-ubian, pisang, lombok di pasar malam di Desa Bangun Rejo (desa tetangga). Kalau makan ada saja, enggak ada beras bisa makan ubi, tapi biaya anak sekolah ini agak sulit,” keluhnya.
Kondisi ini dipersulit sejak ada pandemi Covid-19 dan pasar malam pun ditutup. Terpaksa ia harus menjual hasil kebun ke sejumlah pasar tradisional di Samarinda dan Tenggarong.