TRAGEDI AREMA VS PERSEBAYA
Tragedi Stadion Kanjuruhan : Suporter Turun Lapangan, Aparat Arogan, dan Kuburan Massal di Malang
Tragedi Stadion Kanjuruhan : Suporter Kampungan, Polisi Kurang Pikir dan Kuburan Massal di Malang
Dari malam ke sore. Alasan panitia, pengawasan dan pengamanan pertandingan di sore hari, lebih mudah dilakukan ketimbang malam. Termasuk perihal "penonton-penonton liar".
Jumlah penonton akhirnya over kapasitas. Permohonan ini ditolak. Show must go on!
Kekhawatiran-kekhawatiran panitia lokal terbukti. Stadion Kanjuruhan berkapasitas 38 ribu orang. Namun jumlah penonton yang hadir malam itu disebut-sebut mencapai 42 ribu. Dalam kondisi kerapatan seperti ini, mekanisme evaluasi jadi tidak dapat lagi dijalankan dengan baik.
PSSI memutuskan untuk menghentikan sementara kompetisi Liga 1 untuk melakukan investigasi sekaligus evaluasi. Langkah yang memang sebenar-benarnya harus dilakukan. Sebab kerusuhan bukan baru satu kali ini terjadi.
Sebelumnya kerusuhan pecah di Bandung, di Solo, dan di Surabaya. Di kandang Persebaya juga. Hal yang membuat Azrul Ananda, CEO Persebaya, malu tak terkira dan memutuskan untuk mengundurkan diri.
Berseiringan itu, di Liga 2, di laga PSPS Pekanbaru vs PSMS Medan, suporter tuan rumah membakar spanduk dan bangku stadion.
Mereka marah lantaran PSPS main loyo dan tertinggal 1-4 dari PSMS.
Kerusuhan-kersuhan lain juga terjadi di tempat-tempat lain. Dari Liga 1 sampai Liga 3 sampai ke pertandingan-pertandingan antarkampung. Penyebabnya sama. Klub tuan rumah kalah.
Sampai di sini kita muncul pertanyaan lain. Bagaimana sebenarnya cara berpikir penonton sepak bola Indonesia?
Sepak bola adalah permainan yang dipertandingkan, dan pertandingan, secara hakekat, bersifat tak pasti. Ada tiga hasil: menang, seri, atau kalah.
Sepak bola bukan hitung-hitungan matematika. Menang itu membahagiakan. Kalah itu menyedihkan.
Namun selalu ingin menang, dan marah, lantas mengamuk merusuh ketika kalah, adalah senyata-nyatanya kebodohan.