Berita Surabaya Hari Ini
Kaum Miskin Selayaknya Berhenti Merokok, Utamakan Uang untuk Gizi Keluarga
KAUM MISKIN - Uang yang seharusnya bisa untuk kebutuhan positif lain seperti memenuhi kebutuhan gizi keluarga, justru untuk membeli rokok.
KAUM MISKIN - Uang yang seharusnya bisa untuk kebutuhan positif lain seperti memenuhi kebutuhan gizi keluarga, justru dialokasikan untuk membeli rokok.
Reporter: Fikri Firmansyah
SURYAMALANG.COM, SURABAYA - Beberapa waktu lalu, Kementerian Keuangan menyebut rokok sebagai komponen pengeluaran terbesar kedua setelah beras pada rumah tangga dari kaum miskin.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan mengungkap data bahwa pengeluaran untuk rokok lebih tinggi dari protein.
Menanggapi fenomena ini, pakar Sosiologi Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Bagong Suyanto angkat bicara.
Prof Bagong menyebutkan, fenomena ini sebenarnya telah menjadi keprihatinan sejak lama.
“Memang menjadi masalah yang sering dikeluhkan, uang yang seharusnya bisa untuk kebutuhan positif lain seperti memenuhi kebutuhan gizi keluarga, justru dialokasikan untuk membeli rokok,” ucap Prof Bagong yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR itu. Kamis (22/12/22).
Bagong juga mengungkapkan, rokok dan kemiskinan memiliki hubungan yang erat.
Dalam keluarga miskin, biasanya telah terjadi proses pembelajaran tentang budaya merokok. Akhirnya, pembelajaran ini menjadi kebiasaan yang didukung juga oleh zat-zat adiktif dalam kandungan rokok.
“Bahkan tingkatannya bisa makin berat, tidak hanya rokok putih namun akhirnya bisa meningkat pada rokok kretek,” imbuh Prof Bagong.
Menurut Prof Bagong, kebijakan kenaikan harga rokok adalah keputusan yang baik.
"Meski bukan dianggap sebagai solusi yang dapat menuntaskan masalah, kebijakan yang menyebabkan naiknya harga rokok adalah sebagai salah satu keputusan yang baik."
“Karena akan membuat masyarakat miskin utamanya, berpikir ulang untuk memanfaatkan uang pembelian rokok untuk kepentingan yang lebih positif. Perokok pada kalangan miskin kemungkinan mencari pengganti aktivitas selain merokok," sebutnya.
Namun, guru besar bidang sosiologi ekonomi itu menyebutkan bahwa kebijakan ini harus dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk berhenti merokok.
Tingkat Kesadaran Penting